Penjelasan Lengkap Sifat Wahdaniyah
Sifat yang ke enam dari sifat 20 yaitu sifat wahdaniyah. Wajib pada haqnya Allah S.W.T. memiliki wahdaniyah yang artinya esa/tunggal. Allah tunggal baik dzat, sifat dan perbuatan (af'al).
Sifat Wahdaniyah Dalam Dzat
Dzat Allah tidak tersusun dari berbagai bagian. Tidak ada dzat lain yang menyerupai dzatnya Allah.
Sifat Wahdaniyah Dalam Sifat
Allah tidak mempunyai dua sifat atau lebih yang sejenis, seperti dua qudroh dan seterusnya. Selain Allah tidak ada yang mempunyai sifat yang menyerupai sifatnya Allah.
Sifat Wahdaniyah Dalam Af'al
Selain Allah tidak ada yang menyerupai af'alnya Allah. Seperti diciptakannya langit dan alam semesta berikut isinya tak ada satupun makhluq yang bisa menandingi ciptaan Allah.
Sifat wahdaniyah adalah termasuk kedalam sifat salbiah yaitu sifat yang menafikan sifat-sifat yang tidak pantas bagi Allah.
Sifat Mustahil Dari Sifat Wahdaniyah
Lawan (sifat mustahil) dari sifat wahdaniyah adalah ta'adud yang artinya berbilang.
Dalil Aqli Sifat Wahdaniyah
jika terbukti Allah itu berbilang, maka tidak akan ditemukan satu perkara dari semua makhluq yang artinya tidak akan ada alam (makhluq).
Maksud wajib disini adalah wajib menurut akal, bahwa sudah seharusnya Allah memiliki sifat wahdaniyah dan pasti memiliki sifat wahdaniyah, bukan berarti sifat wahdaniyahnya Allah didahului oleh akal, adanya sifat wahdaniyah bukan karena ditemukan oleh akal akan tetapi sebelum akal menemukan sifat wahdaniyahnya Allah, Allah memang memiliki sifat wahdaniyah yakni qodim, terdahulu dan tetap.
Menurut akal bahwa tidak masuk akal bila ada tuhan yang berbilang seperti ada dua tuhan, tiga atau lebih, karena jika demikian berarti tuhan yang kita kenal butuh kepada tuhan yang lain, sedangkan menurut akal mustahil jika Allah butuh kepada yang lain karena Allah memiliki sifat qiyamuhu binafsihi yang artinya tak butuh kepada apapun malah sebaliknya semua makhluq butuh kepada Allah, maka menurut akal Allah itu harus memiliki sifat wahdaniyah.
Allah itu tunggal baik dzat, sifat, asma' maupun af'alnya, ini yang dimaksud dengan Allah itu Maha Esa yakni Allah itu adalah satu-satunya tuhan yang haq disembah, tidak ada yang lain, maka jika berbicara soal ketuhanan yang Maha Esa, Islam lah satu-satunya agama yang mentauhidkan tuhannya yakni tidak menghadirkan sesuatu selain Allah untuk disembah.
Dalil Naqli dan Pandangan Hukum Syara’ Terhadap Dalil Aqli Bahwa Allah Memiliki Sifat Wahdaniyah
Hukum syara' menetapkan bahwa Allah memiliki sifat wahdaniyah, hukum akal dibenarkan oleh hukum syara' sebab jika hukum akal tak sesuai dengan syara' maka hukumnya batal.
Al-qur'an surat Al-baqoroh ayat 123 menyebutkan "Dan tuhanmu adalah tuhan yang Maha Esa..."
Hukum syara' mewajibkan kepada setiap mukalaf (muslim yang berakal dan baligh) untuk bertauhid dengan membenarkan dalam hatinya bahwa keberadaan Allah itu tunggal dalam artian tekad, ucap dan perbuatan harus selaras yaitu bertauhid bahwa dzat, sifat maupun af’al Allah itu tunggal dengan terus menerus bertauhid.
Hanya kepada Allah kita beribadah dan hanya kepada Allah kita memohon dan mengharap. Jadi, maksud dan tujuan kita beribadah harus karena Allah, hanya bertujuan mengharap ridhonya Allah dengan maksud menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Bagi seseorang yang beribadah kepada Allah tetapi juga beribadah kepada selain Allah, maka hukumnya adalah syirik, pelakunya disebut musyrik dan golongan yang mensyirikan Allah disebut kaum musyrikin. Siksa bagi mereka yang mensyirikan Allah.
Bagi seseorang yang mengerjakan perintah Allah tapi maksiat juga dikerjakan, maka hukumnya adalah fasik. Di dalam pembahasan fiqih munakahat haram bagi orang yang fasik menjadi saksi di dalam pernikahan.
Bagi seseorang yang beribadah kepada Allah tetapi maksud dan tujuannya bukan mengharap ridho Allah, maka orang tersebut terjerumus kepada syirik khofi (samar).
Syirik yang samar adalah penyakit hati yang tak terasa dan tak terlihat dzohirnya artinya orang tersebut tidak menyembah kepada selain Allah tapi tujuannya bukan untuk Allah.
Hukum syara' melarang kepada semua mukalaf yang hidup tapi tidak beriman kepada Allah, atau beriman tapi melakukan perbuatan syirik, atau bertauhid tapi tidak berma'rifat (mengenal Allah), atau berma'rifat tapi tidak tasdiq (membenarkan keberadaan Allah beserta sifat-sifat-Nya salah satunya adalah wahdaniyah, Asma-Nya dan af'al-Nya).
Sifat wahdaniyah adalah haqnya Allah, tidak bergantung kepada Makhluq yang mengimani-Nya, walaupun seandainya tak ada yang mengimani-Nya, tidak ada satupun rasul yang diutus atau alam jagat raya ini tidak ada, Allah tetap memiliki sifat wahdaniyah.
Sifat wahdaniyahnya Allah adalah haq Allah, bukan karena ditetapkan oleh akal karena akal hanya menemukan dan dalil-dalil yang tertulis di Al Qur-an maupun Hadits hanya menunjukan. Sifat wahdaniyahnya Allah sudah ada dan tetap ada pada dzat Allah.
Sifat Wahdaniyah Menafikan Sifat-sifat yang Tidak Layak Bagi Allah
Di dalam Al Qur-an surat Al Mu'minun ayat 91 disebutkan bahwa "Maha suci Allah dari sifat kaum musyrikin."
Tuhan yang diyakini oleh kaum khowarij dan kaum musyrikin hakikatnya bukanlah Allah sebab tidak ada sifat-sifat yang menunjukan bahwa Allah itu wahdaniyah.
Sifat wahdaniyah secara bahasa adalah Al Wahdaniyah yang artinya satu, tapi maksud wahdaniyah disini bukan sebuah bilangan dan tak berbilang bukan seperti makhluq yang dikatakan satu padahal hakikatnya terdiri dari beberapa bagian seperti adanya dua tangan, dua kaki satu kepala dan lain-lain.
Satunya Allah bukan gabungan dari bilangan sepertiga, bukan sebagian dari sesuatu yang banyak, sehingga tercabutlah pertanyaan yang menyebutkan "Allah ada berapa?" karena pertanyaan tersebut hanya pantas ditujukan kepada makhluq bukan kepada Allah.
Kemudian dipertegas oleh Allah dalam nash Al Qur-an surat Al ihlash yang menyebutkan bahwa Allah itu satu (pada ayat pertama) dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan-Nya (pada ayat terakhir).
Jadi, satunya Allah tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Allah karena Allah bukan makhluq dan Allah tidak tersusun dari beberapa bagian layaknya makhluq yang terdiri dari susunan sel, molekul, atau berbentuk seperti adanya hidung, mata, telinga, dan anggota tubuh lainnya.
Pengertian Wahdaniyahnya Allah Ada Lima Pengertian
Pertama, tunggalnya Allah dalam dzat-Nya tidak terdiri dari dua atau lebih ataupun banyak. Yang mencabut pertanyaan bilangan terpisah terhadap Allah seperti "Allah ada berapa?"
Ke dua, tunggalnya Allah bukan hasil dari menggabungkan sesuatu yang berbilang dan terpisah seperti contohnya manusia yang dikatakan satu atau seorang padahal hakikatnya terbagi atas beberapa bagian anggota tubuh, maka tercabutlah anggapan bahwa Allah itu satu dari beberapa bagian seperti berkaki, bertangan dan bagian lain layaknya makhluq.
Ke tiga, tidak ada sesuatupun yang mempunyai sifat-sifat yang menyerupai sifatnya Allah, sehingga sifat wahdaniyahnya Allah mencabut terhadap adanya bilangan sifat selain Allah yang seperti sifatnya Allah.
Adapun melihatnya Allah itu berbeda dengan melihatnya makhluq yang menggunakan mata, karena melihatnya Allah yaitu dengan sifat bashor-Nya yang Maha Melihat bukan dengan bantuan alat penglihatan seperti mata.
Melihatnya Allah bukan berarti Allah dan makhluq itu sama, karena samanya dalam penyebutan itu tidak berarti sama dengan bukti, artinya melihatnya Allah tidak seperti makhluq, mendengarnya Allah tidak seperti makhluq. Allah tidak butuh mata atau telinga untuk melihat dan mendengar karena Allah tidak seperti makhluq yakni mukholafatu lilhawaditsi sebagaimana dalil Al Qur-an yang menyebutkan "Tak ada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya."
Ke empat, tunggalnya Allah dalam sifat-Nya yakni sifat Allah satu seperti tunggalnya sifat sama' (mendengar). Sifat mendengar bagi Allah itu tunggal karena Allah tidak memiliki dua sifat sama', yang banyak itu adalah apa yang didengar oleh Allah.
Dengan demikian sifat wahdaniah dalam sifat mencabut terhadap bilangan sifat Allah pada masing-masing warna. Artinya Allah tak memiliki dua sifat yang sama seperti dua sifat qudroh dan lain-lain.
Ke lima, tunggalnya Allah dalam perbuatan (af'al). Tidak ada selain Allah yang memberi pengaruh dari apa yang diperbuat-Nya, karena apa yang diusahakan oleh makhluq tidak memberi pengaruh terhadap hasilnya karena hakikatnya Allah yang berkehendak hasil atau tidaknya usaha yang dilakukan oleh makhluq-Nya dan Allah juga yang berkehendak atas apa yang diusahakan atau diupayakan oleh makhluq-Nya.
Af'al Allah
Ada dua bagian yang menjadi bagian dari Af'alnya Allah :
Pertama, af'al Mukhtar yaitu perbuatan Allah yang disambungkan dengan daya ikhtiarnya makhluq. Jadi, ikhtiarnya kita sebagai makhluq merupakan bagian dari af'alnya Allah yang bisa saja disertai ridhonya Allah dan bisa juga disertai murkanya Allah, tergantung niat kita di dalam berikhtiar.
Seperti Allah membuat seseorang menjadi kaya yang disertai ikhtiar seseorang yang rajin bekerja dan menabung yang disertai do'a dan rajin bersedekah dengan niat karena Allah, atau kayanya seseorang karena kehendak Allah yang disertai ikhtiar seseorang dengan jalan korupsi untuk tujuan mengikuti syahwat seperti ingin dipandang oleh oranglain dengan mengumpulkan harta duniawi.
Dalil dari af'al mukhtar yaitu Al Qur-an surat Al baqoroh ayat 286:
... لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَيۡهَا مَا اكۡتَسَبَتۡ
"...Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya."
Surat Al baqoroh ayat 195:
... وَلَا تُلۡقُوۡا بِاَيۡدِيۡكُمۡ اِلَى التَّهۡلُكَةِ ۖ ۛۚ وَاَحۡسِنُوۡا..
"...Dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah."
Dan surat Ar Ro'du ayat 11:
...اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوۡا مَا بِاَنۡفُسِهِمۡؕ...
"...Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri."
Dan surat Ar Rum ayat 41:
...ظَهَرَ الۡفَسَادُ فِى الۡبَرِّ وَالۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ اَيۡدِى النَّاسِ
"...Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia."
Ke dua, af'al Muthor yaitu perbuatan Allah yang tidak disambungkan dengan daya ikhtiarnya makhluq. Seperti diciptakannya langit, bumi beserta isinya termasuk kita di dalamnya adalah bagian dari af'alnya Allah yang tidak disertai oleh daya ikhtiarnya makhluq.
Dalil dari af'al muthor yaitu Al Qur-an surat At Taubah ayat 51:
قُلْ لَّنۡ يُّصِيۡبَـنَاۤ اِلَّا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَـنَا ۚ هُوَ مَوۡلٰٮنَا ۚ وَعَلَى اللّٰهِ فَلۡيَتَوَكَّلِ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ
"Katakanlah olehmu (Muhammad), tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakallah orang-orang yang beriman."
Pandangan Ulama Ahlu Sunnah Terhadap Sifat Wahdaniyah Dalam Af'al
Menurut Ulama Ahlu Sunnah (muslim salim/muslim yang selamat), bahwa:- Tak ada sesuatupun yang bisa memberikan bekas/pengaruh kecuali Allah.
- Semua wujud 'aridhi yakni makhluq itu semua hasil dari af'alnya Allah.
- Adat atau usaha sekedar persambungan wujud yang tidak memberi bekas/pengaruh.
- Adat dan usaha adalah mumkin ingkarnya.
- Adat wajib dihormati dan dipakai sebagai landasan hukum syara'. Sebagaimana disebutkan oleh di dalam kaidah fiqih Syafi'i bahwa adat (kebiasan yang lumrah) bisa dijadikan landasan hukum syara' ketika tak ditemukan dalil Al Qur-an dan Hadits.
- Tidak mengharuskan adanya sambungan adat terhadap sesuatu yang dihubung-hubungkan.
- Hukum syara' mewajibkan usaha seperti melaksanakan tho'at dan menjauhi maksiat.
- Tho'at bukanlah sebab seseorang masuk Surga, maksiat bukanlah penyebab seseorang masuk Neraka semuanya karena rohmat dan fadholnya Allah.
- Tho'at adalah ciri calon penghuni Surga dan maksiat adalah ciri bagi calon penghuni Neraka. Sebagai tanda terhadap janji dan ancaman Allah.
Tidak dibenarkan bahwa hasil yang kita dapat adalah disebabkan oleh usaha kita, tapi harus meyakini bahwa itu semua atas kehendak Allah.
Tidak dibenarkan bahwa hangusnya kertas karena dipengaruhi oleh api yang membakar atau terputusnya tali karena pengaruh pisau yang memotong tali tersebut, tapi harus mengembalikan kepada Allah bahwasanya semua yang terjadi adalah karena kehendak Allah.
Menurut adat, api memang bersifat membakar tapi hangusnya benda setelah terbakar oleh api adalah bagian dari kehendak Allah (irodah) karena api tak bisa menghanguskan sesuatu jika Allah tidak berkehendak, seperti api yang tak bisa membakar nabiyullah Ibrohim 'alahi salam dan tak membuat beliau terbakar apalagi hangus karena Allah yang berkehendak kepada api agar tak mencelakakan Nabi Ibrohim.
Ulama Ahlu Sunnah menafikan pendapat golongan Qodariyah yang meyakini bahwa kemampuan makhluq atas usahanya bisa memberi pengaruh terhadap apa yang diinginkannya, namun jika tak membuahkan hasil adalah karena af'alnya Allah.
Kemudian juga menafikan pendapat golongan mu'tazillah atau khowarij yang meyakini bahwa adat memberi pengaruh, sedangkan Allah tak ada hubungannya. Seperti pisau yang memberi dampak terhadap luka atau api yang memberi dampak terhadap hangusnya kertas, yang terjadi karena pengaruh adat bukan karena kehendak Allah.
Kemudian juga menafikan pendapat kafir thoba'iyah yang meyakini bahwa hubungan adat memiliki dampak terhadap hasil dengan tobi'atnya. Seperti thobi'at api yang membakar dan menghanguskan atau thobi'at makan yang memberi dampak mengenyangkan, sedangkan Allah tidak ada hubungannya dengan semua itu.
Kemudian juga menafikan pendapat golongan kafir Jabariyah (kafir zindiq) yang meyakini bahwa segalanya atas kehendak Allah, namun meniadakan terhadap daya ikhtiarnya makhluq. Berkeyakinan bahwa kafir atau berimannya seseorang adalah kehendak Allah, namun seseorang tak bisa memilih dengan daya ikhtiarnya untuk bisa masuk ke surga atau neraka. Golongan ini termasuk kafir karena bertentangan dengan Al Qur-an.
Kemudian juga menafikan Ahli bid'ah yang meyakini bahwa Allah menaruh kekuatan pada adat, dengan kekuatan tersebut maka adat memberi bekas/pengaruh. Golongan ini bagi sebagian Ulama adalah termasuk golongan musyrikin, namun sebagian golongan menghukumi fasik.
Kemudian juga menafikan pendapat mukmin jahil (muslim yang awam) yang meyakini bahwa adat mempunyai daya memberi bekas/pengaruh dengan izin Allah tapi juga tidak mengingkari bahwa pasti tiap-tiap api itu bisa menghanguskan. Oleh Ulama keyakinan yang seperti ini tidak tergolong kufur karena pengetahuan mereka belum sampai pada hakikatnya Allah.
Kemudian juga menafikan pendapat orang-orang kafir fulasyifah yang meyakini bahwa semua kejadian disebabkan oleh kekuatan alam, Allah menyatu dengan alam.
Kemudian juga menafikan pendapat golongan Shonamiyah yang meyakini bahwa yang dipuja memberi bekas/pengaruh. Seperti menyembah patung bisa memberikan manfaat pada yang menyembahnya.
Kemudian juga menafikan pendapat golongan kafir Mustausilah yang berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan sebagai perantara bisa memberikan bekas/pengaruh.
Kemudian juga menafikan pendapat ahli bid'ah hindi yang berkeyakinan bahwa apa yang menjadi kebiasaan agama Hindu itu mempunyai daya untuk memberikan bekas/pengaruh. Seperti ajaran buhun dalam masyarakat Sunda.
Kemudian juga menafikan pendapat musyrikin ahli syaharoh yang berkeyakinan bahwa sihir memiliki daya untuk memberi bekas/pengaruh.
Penutup
Demikian yang dapat kami sampaikan tentang sifat wahdaniyah pada posting kali ini. Mohon maaf jika ada kekurangan atau kesalahan dalam penyampaian dan penulisan. Semoga bermanfaat.
Wallahu a'lam bishowab.
Sumber :
- Kitab Tijan Addarori.
- Sifat Duapuluh arab pegon bahasa Sunda.
- Sifat Duapuluh dan Asma’ul Husna TQN Cikangkung-Rengasdengklok-Karawang.
Posting Komentar untuk "Penjelasan Lengkap Sifat Wahdaniyah"