Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Hikayat Seorang Ahli Ibadah yang Mendapat Murkanya Allah dan Seorang Pendosa yang Menjadi Kekasih Allah

Hikayat Seorang Ahli Ibadah yang Mendapat Murkanya Allah dan Seorang Pendosa yang Menjadi Kekasih Allah

Daftar Isi Artikel: Tampilkan

  بسم الله الرّحمن الرّحيم


Hadits Ke 2

Adapun hadits ke dua dari empat puluh hadits yang yang disebutkan oleh syekh Muhammad bin Abi Bakar rohimahullahu ta'ala di dalam kitab Al Mawaidhz Al Ushfuriyah yaitu hadis dari Ibnu Mas'ud yang menyebutkan:

قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم : الفاجر الرّاجي رحمة الله تعالى اقرب إلى الله تعالى من العابد المقنط

Rosulullah sholallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang yang suka berbuat keburukan yang mana orang ini mengharapkan rohmat dari Allah Ta'ala itu lebih dekat dengan Allah daripada orang yang ahli ibadah yang suka memutus seseorang dari rohmat Allah."


Jangan Memutuskan Seseorang Dari Rohmatnya Allah

Sebagaimana yang disebutkan oleh hadits diatas dapat terfahami, bahwa seorang yang ahli ibadah itu tidak lebih baik ketika membuat oranglain putus harapan akan rohmatnya Allah yang begitu luas.

Artinya bahwa seseorang harus memotivasi saudaranya yang seiman ketika ingin berhijrah dari perilaku yang kurang terpuji kepada perilaku yang terpuji yang diridhoi Allah sehingga tercurahkannya rohmat, bukan dengan mematahkan harapan oranglain yang ingin hijrah.

Jangan membuat oranglain putus asa apalagi merendahkannya karena dengan memandang rendahnya seseorang terhadap oranglain itu bisa menjadi sebab dicabutnya rohmat oleh Allahu Ta'ala terhadap orang tersebut.

Namun hadits ini jangan dijadikan dalil dengan pandangan bahwa orang ahli ibadah itu belum tentu mendapatkan rohmat dari Allah dan orang yang suka berbuat keburukan itu lebih baik.

Sebagaimana telah disampaikan pada artikel sebelumnya pada pembahasan hadits pertama, bahwa berbelas kasih, saling menjaga hubungan baik dengan sesama makhluk itu bisa menjadi sebab diberikannya rohmat oleh Allah, maka jangan kita su'udhzon dan memandang rendah terhadap oranglain.

Pinterest


Hikayat Seorang Ahli Ibadah yang Memutuskan Seseorang Dari Rohmatnya Allah

Dikisahkan oleh Zaid bin Aslam dari sayidina Umar rodhiyallahu 'anhu, bahwa dulu ada seorang laki-laki ahli ibadah yang hampir dua puluh empat jam seluruh waktunya ia pergunakan untuk ibadah.

Saking semangatnya beribadah, laki-laki yang ahli ibadah tersebut sibuk dengan dirinya sendiri agar terlihat baik di hadapan Allah sehingga melupakan hubungan baik dengan sesama.

Dalam riwayat lain menyebutkan orang yang ahli ibadah tersebut beribadah dikarenakan lari dari perselisihan dengan saudaranya dan memilih uzlah mendekatkan diri kepada Allah.

Singkat cerita laki-laki yang ahli ibadah ini meninggal dunia.

Di alam barzah laki-laki ahli ibadah ini menuntut pahala kepada Allah atas segala amal ibadah yang ia kerjakan semasa hidupnya, dengan berkata:

"Wahai tuhanku mana pahala yang aku dapatkan dari seluruh ibadahku?"

Kemudian dijawab oleh Allah, "Neraka! (Yang layak untukmu adalah siksa api neraka)."

Kemudian laki-laki tersebut kembali bertanya: "Wahai tuhanku! Lantas dimana (balasan) ibadah dan jihadku?"

Maka Allah menjawab, "Sesungguhnya engkau telah mememutuskan seseorang yang mengharapkan rohmat dariku sewaktu di dunia, maka Akupun memutuskan rohmatku terhadapmu."

Hikmah yang bisa kita ambil dari hikayat diatas adalah jangan memandang oranglain dengan pandangan yang merendahkan dan menjalin hubungan baik dengan sesama manusia itu sangat penting di dalam kita mencari ridhonya Allah, dengan tidak mengecilkan hati oranglain apalagi sampai melukai perasaan oranglain.

Karena seperti telah sering guru kami sampaikan bahwa ibadah itu tidak melulu yang bersifat mahdhoh (langsung) seperti dzikir, sholat dan ibadah lain yang berhubungan langsung dengan Allah.

Tapi selain ada ibadah yang mahdhoh ada juga ibadah ghoir mahdhoh (tidak langsung) seperti menjaga hubungan baik terhadap sesama makhluk yang mana di dalamnya juga tersimpan adanya ridho Allah.

Kita tidak pernah tahu ibadah yang mana yang kita lakukan yang mendapat ridhonya Allah, maka seyogyanya di dalam kita beribadah harus senantiasa mengharapkan ridhonya Allah, baik ibadah yang mahdhoh maupun yang ghoir mahdhoh, sehingga kita tidak lari dari kewajiban baik yang duniawi maupun untuk urusan akhirat.

Dalam satu riwayat diceritakan bahwa ketika syekh Abdul Qodir Al Jailani berkholwat dalam proses suluknya, beliau digoda oleh iblis yang memperdaya beliau untuk meninggalkan syari'at karena beliau sudah wushul kepada Allah.

Namun karena syekh Abdul Qodir Adalah seorang quthubul auliya yang keimanannya sudah mantap tidak bisa digoyahkan, beliau tahu bahwa suara yang ia dengar itu adalah dari iblis bukan dari Allah, maka diusirnya iblis tadi.

Ini mengisyaratkan, bahwa menjauhnya kita dari kesibukan dunia untuk bisa dekat dengan Allah itu tidak jaminan bebas dari godaan setan dan iblis, sehingga syekh Abdul Qodir Al Jailani mendapatkan ilham dari Allah untuk kembali ke masyarakat karena uzlah yang dilakukan oleh beliau dinyatakan sudah selesai.

Jadi, beribadah mendekatkan diri kepada Allah itu bukan berarti meninggalkan kewajiban duniawi atau mengabaikan hubungan dengan sesama.


Hikayat Orang yang Fasik yang Menjadi Waliyullah Karena Rohmatnya Allah

Kemudian sebagai i'itibar bahwa ternyata dengan menganggap oranglain itu rendah belum tentu orang tersebut rendah menurut pandangan Allah juga dihikayatkan dalam sebuah kisah di jamannya nabi Musa 'alaihis salam sebagai berikut:

Ada seorang laki-laki fasik yang semasa hidupnya gemar melakukan keburukan sehingga dicap bromocorah oleh para penduduk kampung karena kelakuan buruknya itu.

Kemudian pada suatu hari orang fasik ini meninggal dunia, namun tak ada satupun penduduk yang sudi mensholatkan jenazahnya karena para penduduk sudah terlampau benci dan geram terhadap kelakuannya ketika masih hidup, malah jenazahnya dibiarkan tergolek bersama tumpukan sampah.

Tak sampai di situ, jenazah orang fasik tersebut disepak-sepak seolah tidak ada harganya hingga sampai di tepian jurang, namun yang aneh disini adalah ketika Allah mewahyukan kepada nabi Musa dengan perintah untuk mendatangi jenazah orang fasik tersebut dan Allah menyebut orang tersebut sebagai wali-Nya.

Nabi Musa 'alaihis salam diutus oleh Allah untuk mengurus jenazah orang fasik tersebut sampai mensholatkannya, maka dilaksanakanlah perintah dari Allah oleh nabi Musa dengan mendatangi kampung di mana jenazah orang fasik itu berada.

Sesampainya di kampung tersebut nabi Musa bertanya kepada penduduk, namun tak ada satupun yang mau menjawab bahkan pura-pura tidak kenal ketika nabi Musa menyebutkan Nama orang fasik yang jenazahnya terbengkalai itu.

Namun ada satu orang berkata kepada nabi Musa dengan sebuah pertanyaan, "Apakah engkau tidak salah menanyakan dan mencari-cari orang tersebut wahai Nabiyullah?"

Nabi Musa balik bertanya, "Apakah ada yang salah dengan pertanyaanku, lalu apa yang sebenarnya terjadi sehingga kalian sepertinya enggan menceritakan orang tersebut?"

Kemudian diceritakanlah keburukan keburukan yang pernah dilakukan orang fasik itu oleh salah seorang penduduk, sehingga nabi Musa pun kaget dan heran setelah mendengar cerita dari salah seorang penduduk, kemudian ditunjukanlah tempat oleh para penduduk dimana jenazah orang fasik itu berada.

Perasaan heran di hati nabi Musa tadi diluapkan di dalam munajatnya kepada Allah sebelum beliau mengurus jenazah orang tersebut, nabi Musa berkata dalam munajatnya:

"Wahai Tuhanku, Engkau telah memerintah kepadaku untuk mensholati dan menguburnya, tetapi para penduduk telah memberi kesaksian buruk terhadapnya. Maka Engkau lebih mengetahui dari pada mereka atas kebaikan dan keburukannya."

Kemudian Allah menjawab di dalam wahyu-Nya: "Wahai Musa, benar apa yang telah diceritakan masyarakat atas keburukan prilakunya. Tetapi dia telah memohon pertolongan kepada-Ku dengan tiga perkara saat menjelang kematiannya."

"Jikalau semua para pendosa meminta kepadaku dengan tiga perkara tersebut, niscaya Aku akan memberikannya, sedangkan dia hanya meminta seorang diri. Dan Aku adalah Zat yang lebih pengasih dari semua orang yang pengasih."

Nabi Musa pun bertanya: "Wahai Tuhanku, apa tiga perkara tersebut?"

Allah pun berkata: "Ketika ajalnya telah dekat, orang ini berdoa dan bermunajat."

(Isi munajat orang fasik tersebut):

"Wahai Tuhanku, Engkau mengetahui tentangku. Sungguh aku telah melakukan maksiat, namun sejatinya di dalam hatiku ini benci melakukannya."

"Akan tetapi engkau tahu bahwa di dalam hatiku masih ada tiga perkara yang baik. Aku melakukan maksiat sedangkan seperti yang engkau tahu bahwa hatiku membencinya, dan semua itu dikarenakan hawa nafsu, teman yang buruk, dan iblis. Dan tiga perkara ini yang menjadikan aku senang melakukan maksiat."

"Wahai Tuhanku, sesungguhnya Engkau mengetahui tentangku atas apa yang telah aku ucapkan, maka ampunilah aku."

Kemudian do'a yang keduanya adalah:

"Wahai Tuhanku, Engkau Maha Mengetahui dan memang benar aku melakukan maksiat dan tempatku adalah bersama orang-orang yang fasik, tetapi aku senang bergaul dengan orang-orang yang sholih, dan tempatku bersama orang-orang yang sholih itu lebih aku sukai daripada bersama orang-orang yang fasik."

Kemudian do'a yang ketiganya adalah:

"Wahai Tuhanku, Engkau mengetahui bahwa aku lebih suka bersama dengan orang-orang yang sholih daripada bersama orang-orang yang fasik, sehingga jika aku memenuhi undangan dari dua orang yakni seorang yang sholih dan seorang lagi adalah pendusta, maka aku akan mendahulukan kepentingan seorang yang sholih daripada seorang pendusta."

"Wahai tuhanku, maafkanlah atas segala kesalahanku, dosa-dosaku karena jika Engkau memaafkan dan mengampuni dosa-dosaku, maka para kekasih (wali) dan para nabi-Mu akan turut senang, sedangkan setan musuhku dan mush-Mu akan bersedih karenanya."

"Tetapi jika engkau menyiksaku, maka setan beserta kawan-kawannya akan turut senang, sedangkan para nabi dan kekasih-Mu akan bersedih."

"Sesungguhnya aku mengetahui bahwa kegembiraan para kekasih-Mu lebih Engkau cintai daripada kegembiraan setan dan sekutunya, maka ampunilah aku."

"Ya Allah, sesungguhnya engkau mengetahui atas apa yang telah aku ucapkan, maka ampunilah aku dan kasihanilah aku."

Allah kemudian berkata kepada Nabi Musa:

"Kemudian Aku mengasihani dan mengampuninya karena sesungguhnya Aku adalah Zat yang penyayang dan pengasih bagi orang yang mengakui dosa-dosanya dihadapan-Ku, dan orang ini telah mengakui dosanya, maka aku mengampuni dan mengasihaninya."

Allah berkata lagi:

"Wahai Musa, lakukan apa yang telah aku perintahkan karena sesungguhnya demi menghormatinya, aku mengampuni orang yang mau mensholati dan mengubur jenazahnya."

Kemudian Nabi Musa bersama para penduduk kampung memandikan, mengkafani dan mensholati serta mengubur jenazah orang tersebut, dengan harapan mereka semua akan mendapat ampunan dari Allah, Tuhan semesta alam.


Kesimpulan

Sebanyak apapun dosa kita kepada Allah, harus dingat bahwa jangan pernah pesimis untuk mendapatkan rohmatnya Allah yang begitu luas, karena rohmatnya Allah itu lebih besar daripada murka-Nya.

Hikayat di atas bukanlah dalil bahwa seorang pendosa bisa menjadi seorang wali, tapi menunjukan betapa welas asihnya Allah terhadap hambanya tanpa memilah-milah karena setiap hambanya pasti mendapat rohmat-Nya tinggal bagaimana sikap kita terhadap Allah.

Jika kita bersikap masa bodoh tanpa adanya perasaan cinta tertanam di qolbu, maka jangan harap rohmat itu datang dan untuk merasakan cinta, maka harus kenal yakni mengenal Allah.

Dari apa yang telah diceritakan di atas adalah munajat, permohonan kepada Allah pun dengan khidmat dan dengan bahasa yang indah, bukan dengan do'a yang asal dan tergesa-gesa.

Munajat adalah bahasa seperti sindiran dalam bahasa sompralnya seperti orang merayu kepada kekasihnya, memang harus seperti itulah ketika kita bermunajat, beda dengan do'a yang meminta dengan langsung pada intinya.

Orang yang memperlakukan Allah dengan cinta, maka cinta pula yang ia dapat dan jika Allah sudah mencintai hambanya, maka seluruh penghuni langit mencintai orang tersebut dan disebut-sebutnya orang tersebut oleh para penghuni lagit.

Yang terakhir yang sangat penting untuk diperhatikan adalah dialog antara nabi Musa dengan Allah langsung itu tidak seperti yang kita fikirkan karena kalam Allah tidak berupa suara dan tak berbentuk apapun, akan tetapi Allah sedang berkehendak membuka hijab yang menghalangi kalam Allah terhadap nabi Musa sehingga nabi Musa memahami apa yang disampaikan oleh Allah.

Jadi kalam Allah tidak dimulai ketika nabi Musa selesai mengajukan pertanyaan, akan tetapi ketika nabi Musa berhenti bicara maka Allah membuka hijab dan berkehendak agar nabi Musa faham terhadap kalam Allah, kemudian Allah menutup kembali hijab pada diri nabi Nuh ketika Allah selesai menyampaikan wahyu.

Jadi jangan membayanglan kalam Allah itu seperti makhluk yang nyerocos ketika berkata-kata, karena Allah beda dengan sesuatu apapun sehingga kalam Allah itu bukan suara, bukan aksara.

Wallahu a'lam bishowab.

Sumber: Kitab Mawaidhz Al Ushfuriyah
Open Comments

Posting Komentar untuk "Hikayat Seorang Ahli Ibadah yang Mendapat Murkanya Allah dan Seorang Pendosa yang Menjadi Kekasih Allah"