Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Najis yang Dima'afkan Pada Minyak Zabad dan Mulut Hewan Pemamah Biak

Najis yang Dima'afkan Pada Minyak Zabad dan Mulut Hewan Pemamah Biak

Daftar Isi Artikel: Tampilkan

 بسم الله الرّحمن الرّحيم

Zabad itu suci

Telah berkata Syekh Zainudin di dalam kitab Fathul Mu'in bahwa:

وَالزَّبَّادُ طَاهِرٌ

"Dan bahwa Zabad itu suci"

Hukum dari sedikit bulu zabad yang menempel pada minyak untuk dipakaian pada tubuh adalah najis yang dimaafkan adapun contoh dari sedikit bulu yaitu tiga helai rambut.


Apa itu Zabad?

Ada dua definisi yang dijelaskan oleh ulama tentang apa itu zabad.

  1. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al Haitami di dalam kitab Tuhfatul Muhtajnya bahwa Zabad adalah susu dari mamalia laut yang baunya harum.
  2. Zabad adalah sejenis kucing hutan yakni musang rase yang mana keringatnya itu dijadikan minyak wangi.
Minyak zabad dan mulut hewan pemamahbiak


Keringat Dari Zabad (musang rase) Bisa Dijadikan Minyak Wangi dan Suci

Seperti halnya menjangan yang sudah kami sampaikan pada artikel sebelumnya, bahwa darah pada menjangan ini bisa dipakai minyak wangi dan halal, begitupun dengan keringat Zabad yakni musang rase suci digunakan sebagai minyak wangi.

Namun yang disoroti di sini adalah bulunya apakah najis bila mengenai minyaknya yang kita ambil untuk dipakai?

Maka menurut ulama, sedikit bulu dari zabad yang menempel pada minyaknya yang kita ambil untuk dipakai itu dihukumi najis yang dimaafkan. Adapun ukuran sedikit yaitu tidak lebih dari tiga helai.

Demikianlah para ulama ahli fiqih telah memutlakkan dengan menghukumi sedikit dari bulu zabad itu najis yang dimaafkan, artinya syah sholatnya seseorang jika menempel satu sampai tiga helai bulu zabad pada minyak wangi yang dipakai pada pakaian.

Hanya saja ulama tidak menjelaskan apakah maksud dimaafkannya bulu zabad itu jika menempel pada pakaian atau jika menempel pada wadah sewaktu mengambil minyaknya dari hewan tersebut?

Maka menurut Imam Hajar Al Haitami dengan mengambil kaul yang mu'tamad mengatakan, bahwa yang dimaafkan itu adalah sedikitnya bulu yang menempel pada saat mengambil minyaknya untuk dipakai.

Kemudian dijelaskan pula bahwa zat pada minyak zabad ini ada yang berbentuk cair dan ada juga yang beku, maka pada minyak zabad yang beku yang dilihat itu tempatnya saja yang dianggap najis.

Maka kata mu'alif jikalau banyak najis pada satu tempat, maka tidak dimaafkan tempat yang banyak najisnya itu. Kalau tidak banyak maka dimaafkan tempat yang ada najisnya itu.

Lain halnya minyak zabad yang cair, karena pada minyak zabad yang cair sesungguhnya seluruhnya telah menyatu, maka jikalau sedikit bulu pada minyak zabad yang cair itu dimaafkan, kalau banyak yakni lebih dari tiga helai bulu maka tidak dimaafkan.


Hukum Kunyahan Pada Mulut Hewan Pemamah Biak

Sebagaimana telah kami sampaikan pada artikel sebelumnya bahwa, muntahan adalah sesuatu yang telah masuk melalui mulut lalu sampai ke perut besar kemudian keluar lagi melalui mulut dan sesuatu yang keluar termuntahkan dari perut besar adalah termasuk najis.

Lalu apakah makanan yang dikeluarkan dari perut kemudian kembali dikunyah oleh hewan pemamah biak itu termasuk benda najis?

Menurut Imam Muhibbudin Ath Thobari yang memu'tamadkan dengan menukil dari Imam Ibnu Shobbagh berpendapat, bahwa kunyahan yang dikeluarkan dari perut hewan pemamah biak seperti sapi, kerbau, kambing, unta dan sejenisnya itu termasuk najis yang dimaafkan.

Sehingga ketika ada hewan pemamah biak seperti sapi, minum pada air yang sedikit yang mana mulutnya itu habis mengunyah makanan yang ia keluarkan dari perutnya, maka air yang diminumnya itu dianggap suci karena najis pada mulut binatang tersebut dihukumi najis yang dima'afkan.

Adapun air yang banyak yakni air yang lebih dari dua kulah itu tidak terpengaruh oleh najis dari mulut binatang tersebut, karena pada air yang dua kulah tidak perlu diragukan lagi masalah najis atau tidaknya selama air tersebut tidak berubah bau, warna dan rasanya.


Hukum Susu Perahan Sapi

Kemudian bagaimana dengan susu yang diperah dari sapi yang mana puting susunya itu bekas menyusui anaknya yang juga suka mengeluarkan makanan dari perutnya kemudian dikunyahnya?

Maka Ulama mengqiyaskan hukum anak sapi yang mulutnya suka mengunyah makanan yang dikeluarkan dari perutnya kemudian menyusu pada induknya itu sama hukumnya dengan bayi yang muntah kemudian menyusu pada ibunya tanpa dibersihkan dulu mulut bayi tersebut.

Artinya susu hasil perahan dari induk sapi itu suci meski melewati puting susu yang terkena najis karena mulut anaknya ketika menyusui dan najis pada mulut anak sapi itu adalah najis yang dima'afkan.

Menurut gurunya Imam Nawawi yakni Imam Ibnu Sholah mengatakan bahwa dimaafkan dari apa yang menempel di mulut bayi karena muntah kemudian menyusu pada ibunya, maka ibunya tidak perlu membersihkan putingnya ketika hendak sholat meski pada mulut bayinya itu ada najisnya karena menurut ulama najisnya itu najis yang dima'afkan.

Termasuk orang gila yang bisa saja orang gila itu habis memakan benda najis kemudian minum, maka air bekas minumnya itu termasuk najis yang dima'afkan menurut kacamata hukum syara'. Adapun masalah jijik itu lain cerita.

Pendapat tersebut menurut Imam Az Zarkasyi karena bagi orang gila bebas dari taklif yakni tidak diberlakukan menjalankan hukum syari'at.


Penutup

Kesimpulannya, sedikit bulu dari binatang zabad atau musang rase itu najis yang dimaafkan ketika mengenai minyak yang kita ambil dari keringatnya dan batasan jumlah helaian bulu yang dianggap sedikit yaitu maksimal tiga helai.

Kemudian najis yang diakibatkan kunyahan yang dikeluarkan dari perut besar pada mulut binatang pemamah biak itu adalah najis yang dima'afkan.

Dan yang terakhir, susu hasil perahan dari sapi itu suci meski pada putingnya itu ada bekas menyusui anaknya yang mana pada mulut anak sapi itu ada najis dari makanan yang ia keluarkan dari perutnya untuk kembali dikunyah.

Wallahu a'lam bishowab.


Sumber: kitab Fathul Mu'in.


Open Comments

Posting Komentar untuk "Najis yang Dima'afkan Pada Minyak Zabad dan Mulut Hewan Pemamah Biak"