Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Mensinergikan Antara Tashowuf dan Fiqih dan Menepis Stigma Negatif Terhadap Tashowuf dan Thoriqoh

Mensinergikan Antara Tashowuf dan Fiqih dan Menepis Stigma Negatif Terhadap Tashowuf dan Thoriqoh

Daftar Isi Artikel: Tampilkan
بسم الله الرّحمن الرّحيم

Apa itu tashowuf?

Bila kita cari di berbagai artikel di google tentu ada banyak sekali blog yang menulis tentang definisi tashowuf, namun menurut guru kami sebagai mursyid yang kamil mukamil syekh Karawang Gana atau yang akrab dipanggil abah Cikangkung, abah Karawang atau abah Gana oleh para muridin, tashowuf adalah usaha kita/jalan untuk mengabdi hanya kepada Allah yang sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rosulullah sholallahu 'alaihi wasallam.

Tashowuf adalah ilmu menata hati agar tidak condong kepada selain Allah, jadi sasaran utama ilmu tashowuf adalah memurnikan ibadah hanya karena Allah (tauhid).

Ilmu tashowuf penyeimbang dari ilmu fiqih, karena semua praktek ibadah yang kita kerjakan yang kita pelajari dari ilmu fiqih jika tidak diimbangi dengan murninya hati yang semata-mata karena Allah, maka mustahil bisa khusu' dan ikhlas dalam ibadah.

Maka ilmu tashowuflah yang mengimbangi ilmu fiqih, sehingga ketika guru-guru kita menjelaskan tentang fiqih pasti di dalamnya diselipkan ilmu tashowuf agar ibadah kita tidak salah tujuan.

Juga disebutkan dalam kitab shohih bukhori di dalam kitab iman, bahwa iman adalah perbuatan hati maka agar bisa merasakan manisnya iman bagian ilmu tashowuflah yang menjelaskan bukan bagian dari ilmu fiqih.


Apakah ajaran tashowuf ada di jaman Rosul?

Tentu saja ada, hanya saja tidak disebut dengan istilah tashowuf, kata tashowuf ada di jaman ulama tabi'in namun peletak dasar ilmu tashowuf adalah Rosulullah yang sanadnya diturunkan kepada sayidina Ali karomallahu wajhah.

Coba kita perhatikan ketika Rosulullah berkholwat di goa Hiro' apakah itu atas kehendak pribadi Rosulullah?

Tentu saja bukan, tapi atas kehendak Allah yang menggerakan hati dan tubuh Rosulullah yang disebut taufik sebagaimana telah dijelaskan dalam shohih Bukhori pada bab permulaan wahyu, bahwa turunnya wahyu untuk pertamakalinya kepada Rosulullah adalah melalui mimpi yang baik.

Dari mimpi-mimpi itulah Rosulullah banyak tafakur kemudian memilih goa Hiro' sebagai tempat untuk berkholwat kemudian Jibril datang menyampaikan wahyu dari Allah untuk Rosulullah, dengan mengatakan "Bacalah!"

Kemudian Rosulullah menjawab "Aku tidak bisa membaca" Karena memang Rosulullah tidak bisa baca tulis, namun dengan kuasa Allah Rosulullah sholallahu 'alaihi wasallam bisa memahami kalam-kalam dari Allah (mukasyafah) sehingga Beliau bergelar Nabiyil Umiy (Nabi yang tidak pernah belajar baca tulis).

Orang yang bisa mukasyafah terhadap ilmu Allah adalah orang yang hatinya bersih dan murni, kemurnian hati tidak bisa datang begitu saja untuk orang-orang seperti kita kecuali dengan latihan dan bimbingan seorang guru.

Jadi tidak benar jika ada yang mengatakan ilmu tashowuf itu bid'ah dholalah, karena jika tashowuf itu bid'ah dholalah maka ilmu fiqih pun sama karena seperti halnya ilmu tashowuf ilmu fiqih itu baru populer pada masa ulama tabi'in bukan di jaman Nabi.

Baik ilmu fiqih maupun ilmu tashowuf adalah Rosulullah sebagai peletak dasarnya kemudian oleh sahabat seperti Ibnu Umar beliau adalah yang menjadi pembuka diturunkannya sanad ilmu fiqih kepada ulama tabi'in hingga sampai kepada kita. Jadi semua ulama fuqoha berkiblat kepada Ibnu Umar yang sumbernya dari Rosulullah langsung.

Sementara dalam ilmu tashowuf ada sayidina Ali Karomallahu wajhah yang menjadi gerbang berlanjut nya sanad ilmu yang membersihkan dan menata ruhani kita yang populer di jaman ulama tabi'in dengan sebutan ilmu tashowuf yang sumbernya juga dari Rosulullah sholallahu 'alaihi wasallam.

Dan melalui sayidina Ali ini lahirlah ilmu tentang gramatikal bahasa arab seperti ilmu nahwu, shorof, tajwid, mantiq dan lain sebagainya, sehingga kemurnian daripada Al Qur-an terjaga, meski menurut golongan orang-orang Syi'ah Al Qur-an harus diamandemen karena sudah tidak murni lagi dikarenakan para sahabat telah merubah isi Al Qur-an.

Di jamannya Rosulullah jangankan kitab-kitab karangan ulama, Al Qur-an pun belum berupa mushaf karena mereka bisa langsung bertanya kepada Rosulullah dan langsung faham, sedangkan di jaman tabi'in sahabat yang masih hidup dan berumur panjang hanyalah Anas bin Malik, pada masa tabi'inlah ulama menuliskan kaidah-kaidah hukum Islam yang bersumber dari hadits Nabi dan Al Qur-an dari penjelasan para sahabat seperti sahabat Anas bin Malik dan Abdullah bin Umar (ibnu Umar).


Tashowuf bukanlah ilmu yang menjadikan seseorang yang anti sosial

Tashowuf anti duniawi?

Image tentang mereka ulama ahli tashowuf selalu diidentikan orang yang hidup di pedalaman atau tinggal di atas gunung jauh dari masyarakat, padahal tidak selalu begitu karena Allah menciptakan manusia dengan berbeda-beda maqom, ada yang di maqomnya asbab seperti pejabat, pedagang, pelaut, petani dan lain-lain dan ada yang dimaqomnya tajrid seperti para santri dan kiyai.

Coba kita perhatikan perjalanan hidup seorang qutubul auliya syekh Abdul Qodir Al Jailani, apakah beliau meninggalkan kewajiban duniawinya?

Tentu saja tidak, beliau tetap mengajar, beliau tetap syiar agama dan tetap menafkahi keluarganya dan beliau memiliki banyak kuda-kuda terbaik.

Adapun orang yang ahli tashowuf yang menjauhkan diri dari masyarakat adalah orang yang memang tidak memiliki tanggung jawab duniawi bukan meninggalkannya, karena maqom tiap-tiap orang itu tidak sama.

Jadi tashowuf itu tidak selalu identik dengan kemiskinan, tapi kesederhanaan dengan meletakan dunia hanya di genggaman bukan di dalam hati sehingga mudah bagi orang tersebut mentashorufkan hartanya untuk di jalan Allah, ini yang disebut maqom zuhud, maqomnya orang-orang yang Allah berikan harta yang lebih.

Dalam ilmu tashowuf secara garis besar manusia itu berada pada salah satu diantara dua maqom yaitu asbab dan maqom tajrid sebagaimana disebutkan oleh ibnu 'Athoillah Assakandari di dalam kitab hikamnya.

Maqom asbab yaitu mereka yang memiliki tanggung jawab duniawi sedangkan maqom tajrid adalah mereka yang Allah tempatkan pada martabat keleluasaan ibadah yang lepas daripada kesibukan duniawi seperti para santri atau kiyai, sehingga tidak dibenarkan jika seseorang berada pada maqom tajrid menyibukan diri untuk urusan duniawi.

Baik asbab maupun tajrid sama nilainya dihadapan Allah jika orang yang berada pada maqom tersebut hanya ditujukan untuk niat beribadah kepada Allah, seperti berdagangnya seseorang untuk memenuhi perintah Allah untuk menafkahi anak dan istrinya.

Apapun asbab kita seyogyanya tujuannya hanya untuk beribadah kepada Allah, karena tujuan hidup manusia adalah untuk beribadah hanya kepada Allah. Sehingga setiap perbuatan kita bernilai pahala jika diniatkan untuk Allah dengan mencontoh Rosulullah.

Ibadah kita kepada Allah tidak terbatas pada sholat dan dzikir kepada Allah saja yang disebut mahdhoh, tapi ada juga ibadah yang ghoir mahdhoh seperti memelihara makhluq.

Dalam ilmu tashowuf sangat ditekankan agar kita memelihara ciptaan Allah dengan berbagai macam cara termasuk diri kita keluarga kita, kemudian tetangga, alam sekitar karena Allah sangat membenci orang-orang yang melakukan kerusakan.

Seperti kasih sayang seorang suami kepada istri dan anak-anaknya dengan diberikannya nafkah dan mendidik istri dan anak-anaknya dengan ilmu agama adalah bagian daripada ibadah ghoir mahdhoh (secara tidak langsung) sebab menyelamatkan keluarga dari api neraka merupakan perintah Allah dan Rosulullah.

Contoh lainnya seperti menjaga keseimbangan alam dengan tidak menebang pepohonan dengan berlebihan, mencemari lingkungan, memburu hewan hutan dengan berlebihan sehingga menyebabkan kepunahan.

Dari setiap ciptaan Allah yang kita pandang tidak bernilai dan tidak berharga sesungguhnya tidak sepi daripada hikmah dan menjadi rantai dari siklus perubahan yang terjadi di bumi, maka jangan pernah melakukan perusakan di bumi kita tercinta ini.

Tashowuf
Dzikir Khotam TQN Miftahul Jannah Bersama Syekh Karawang Gana Cikangkung, Karawang.


Hubungan antara tashowuf dan thoriqoh

Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa ilmu tashowuf itu secara garis besarnya adalah ilmu menata hati membersihkan hati dari penyakit-penyakit yang menjadi penghalang terhadap ridhonya Allah, lalu apa itu thoriqoh?

Definisi thoriqoh secara bahasa adalah jalan sedangkan menurut istilah adalah jalan agar kita bisa mengabdi hanya kepada Allah dengan cara memperbanyak dzikir sesuai dengan perintah Allah agar kita selalu mengingat Allah dengan memperbanyak dzikir.

Lalu apa hubungannya antara tashowuf dengan thoriqoh?

Tashowuf adalah ilmu yang menjelaskan secara teoritis sedangkan thoriqoh adalah metode pengamalan yang sesuai syari'ah karena metode thoriqoh sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rosulullah sholallahu 'alaihi wasallam.

Diantara cabang ilmu Islam, metode thoriqoh adalah ilmu yang sanadnya jelas dan terjaga karena tidak sembarangan orang berguru kepada orang yang bukan haqnya sebagai mursyid untuk mengajarkan thoriqoh.

Bagi seorang murid yang berbai'at di hadapan mursyidnya ia kan dijelaskan apa itu tashowuf dan apa itu thoriqoh yang kemudian dijelaskan juga silsilah atau sanad ilmu di mulai dari guru mursyidnya hingga sampai kepada Rosulullah sholallahu 'alaihi wasallam.

Yang dimaksud berbai'at di dalam berthoriqoh yaitu bukan membai'at seorang mursyid, tapi janji seorang murid kepada Allah di hadapan mursyidnya untuk senantiasa menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan mencontoh Rosulullah sholallahu 'alaihi wasallam.

Di dalam majelis thoriqoh dijelaskan secara berjenjang tentang apa-apa yang harus dilakukan seorang murid dalam usahanya menuju Allah yang sesuai dengan maqomnya, juga dibekali dengan ilmu tashowuf dan dzikir yang harus didawam agar hati yang keras menjadi hati yang lembut, yang bisa menerima kebenaran dan peka terhadap yang bathil.

Hati bila tidak dibimbing melalui bimbingan seorang mursyid maka berhati-hatilah ada iblis yang jauh lebih dulu mengenal Allah yang akan menjerumuskan seseorang dari jalan kebenaran, karena tidak sedikit mereka yang ahli dzikir merasa dirinya sudah ma'rifat, merasa dirinya paling tinggi padahal kenyataannya nol.

Thoriqoh dan tashowuf bukanlah tentang bagaimana cara kita menjadi orang yang paling mulia di antara manusia lainnya, tapi bagaimana kita merendahkan diri kita serendah rendahnya di hadapan Allah agar mendapat ridho-Nya.

Karena segala sesuatunya Allah lah yang menghendaki, bukan atas usaha kita karena usaha hanya sekedar haq kita sebagai manusia adapun hasil hanya Allah yang menentukan, oleh sebab itu maka kesombongan harus dibuang jauh-jauh.

Karena sombong itu datangnya dari setan yang senantiasa menggoda dan menjerumuskan kita agar jauh dari Allah asyik dengan membanggakan diri sendiri.

Kemudian dalam menata hati ada metode agar ada rasa cinta kepada Allah dengan dzikir dan tafakur terhadap asma, sifat dan af'al Allah dan ini hanya dijelaskan di dalam majelis thoriqoh yang haq disampaikan oleh seorang mursyid.

Jadi, seorang Ulama ahli tashowuf sudah pasti berthoriqoh karena tanpa berthoriqoh mustahil seseorang bisa wushul (sampai) kepada Allah sesuai dengan apa yang dicontohkan Nabi yang diwariskan kepada sahabat kemudian kepada ulama, maka berguru itu sangat penting bukan asal mencomot di media sosial.

Rasa cinta bisa tumbuh ketika seseorang sudah mengenal dengan yang dicintainya begitupun kepada Allah, cinta kita kepada Allah bisa tumbuh di dalam qolbu setelah kita mengenal asma, sifat dan af'alnya dengan tafakur dan dzikir.

Jadi, thoriqoh itu adalah metode dzikir mengenal Allah dalam jenjang ilmu tashowuf.


Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsabandiyah

Adapun thoriqoh qodiriyah wa naqsabandiah adalah metode dzikir yang diambil dari dua orang pelopor yaitu syekh Abdul Qodir Al Jailani dan syekh Muhammad Bahaudin Naqsabandi.

Kedua metode dzikir thoriqoh ini kemudian digabung oleh ulama nusantara yaitu syekh Ahmad Khotib Sambas dengan menggabungkan antara dzikir jahar nafi isbat dengan dzikir khofi yang berfokus pada pengisian latho'if dengan menyebut asma Allah secara sirri.


Ahli Silsilah Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsabandiyah

Seperti yang kami sebutkan di atas, bahwa thoriqoh adalah ilmu yang sanadnya terjaga dan jelas maka dibawah ini kami sebutkan silsilah para ulama ahli thoriqoh dimulai dari guru kami hingga sampai kepada Rosulullah sholallahu 'alaihi wasallam:

  1. Syekh K.H. Karawang Gana.
  2. Tubagus K.H. Ahmad Kadhzim.
  3. K.H. Ahmad Suhari.
  4. Kiyai Agung Muhammad Asnawi Caringin.
  5. Kiyai Agung Abdul Karim Tanara.
  6. Syekh Maulana Kiyai Ahmad Khothib Sambas.
  7. Syekh Syamsuddin.
  8. Syekh Al 'Alamah Murod.
  9. Syekh Abdul Fatah.
  10. Syekh Al 'Alim 'Utsman.
  11. Syekh Abdur Rohim.
  12. Syekh Abu Bakar.
  13. Syekh Yahya.
  14. Syekh Hisamuddin.
  15. Syekh Waliyuddin.
  16. Syekh Nuruddin.
  17. Syekh Syarifuddin.
  18. Syekh Syamsuddin.
  19. Syekh Muhammad Al Hattak.
  20. Syekh Abdul 'Ajiz.
  21. Sulthonil Auliyai Sayidi Syekh Abdul Qodir Al Jailani qoddasallahu sirohul 'ajiz.
  22. Syekh Abu Sya'id Al Makhzumi.
  23. Syekh Hasan 'Ali Al Hakari.
  24. Syekh Abu Al Faroj Ath Thurthusi.
  25. Syekh Abdul Wahid At Tamimi.
  26. Syekh Abu Bakar As Sibli.
  27. Sayidi Thoifatish Shufiyati Syekh Abul Qosim Junaidi Al Baghdadi.
  28. Syekh Sirrullah As Siqthi.
  29. Syekh Ma'ruf Al Karhi.
  30. Syekh Hasan 'Ali bin Musa Ar Ridho.
  31. Maulana Syekh Musa Al Kadhzim.
  32. Syekh Imam Ja'far Ash Shodiq.
  33. Syekh Imam Muhammad Al Baqir.
  34. Syekh Imam Zainal 'Abidin.
  35. Sayidina Syekh Imam Husain rodhiyallahu 'anhu.
  36. Sayidina Maulana Imam 'Ali karomallahu wajhah.
  37. Sayidul Mursalin wajibu Robbil 'Alamina Sayiduna wa Syafi'una wa Maulana Muhammad sholallahu 'alaihi wasallam.
  38. Sayiduna Malaikah Jibril 'Alaihis Salam.
  39. Robbul Arbābi wa Mu'tiqur Riqôbi Allahu Subhanahu wa Ta'ala.


Sasaran dari metode dzikir thoriqoh

Adapun sasaran dari metode dzikir thoriqoh yaitu qolbu yang ditempa dengan dzikir menyebut asma Allah agar hilang segala penyakit yang bersarang di hati sehingga terpancar cahaya bashiroh dan menempa latho'if yang ada pada tubuh manusia.

Di dalam majelis thoriqoh dijelaskan, bahwa ada 7 latho'if pada tubuh manusia yang harus dijaga agar menjadi insan kamil bukan berperilaku seperti hewan dan dari ketujuh latho'if tersebut ada 4 unsur yang menyertai proses penciptaan manusia yang mana keempat unsur tersebut terangkum dalam satu unsur, maka berarti ada 5 anasir di dalam tubuh manusia.

Inilah yang membedakan antara manusia dengan hewan selain dikaruniai akal oleh Allah manusia juga dikaruniai latho'if yang menjadi sebab mulianya umat manusia dan bentuk kasih sayang Allah kepada mukmin.


Hubungan antara ilmu tashowuf dengan fiqih

Berbicara tentang ilmu fiqih tentu sangat erat kaitannya dengan ilmu tashowuf karena disamping butuh praktek di dalam beribadah juga dibutuhkan ruhani yang khusu' yang disebut ihsan, karena di dalam beragama ada tiga rukun yang harus terpenuhi yaitu iman, islam dan ihsan.

Dan keihsanan di dalam beribadah tidak bisa dilakukan dengan begitu saja tapi membutuhkan proses latihan yang disebut riyadhoh.

Apa itu ihsan?

Ihsan adalah beribadahnya seseorang kepada Allah seakan-akan melihat Allah langsung atau merasa diperhatikan oleh Allah sehingga ibadahnya tidak asal asalan seperti sholatnya para shohabat yang begitu khusu' yang disebutkan di berbagai riwayat.

Jadi orang yang berfiqih tanpa bertashowuf itu fasik yakni tidak mejamin dia itu bebas dari kufurnya perbuatan dan kufurnya i'tiqod (hati), sedangkan bertashowuf/berthoriqoh tanpa disertai ilmu syari'at yakni ilmu fiqih maka orang tersebut zindiq (sesat), karena iman butuh perbuatan sebagai pembuktian dengan cara beribadah dan menjauhi larangan Allah, kemudian beribadah harus disertai iman dan ihsan agar tidak tergelincir pada perbuatan syirik.


Iman taqlidi dan iman tafshili

Seperti yang kita ketahui dari guru-guru kita, bahwa bagi kita umat akhir jaman yang sangat jauh dan tidak mungkin untuk menanyakan hukum langsung kepada Rosulullah, maka wajib taqlid (mengikut) kepada salah satu imam yang empat yaitu imam Hanafi, imam Maliki, imam Syafi'i dan imam Ahmad bin hambal dalam ilmu fikih.

Bukan so'-so'an mengambil keterangan langsung dari Al Qur- an dan Hadits untuk mengambil hukum, karena kapasitas kita tidak sama dengan para ulama mujtahid mutlak seperti imam yang empat, tugas kita tinggal mengikuti salah satu dari keempat ulama tersebut yang diurai secara terperinci oleh ulama di dalam kitab-kitab karangan mereka karena mereka para mu'alif (pengarang kitab) mengikuti ulama madzhab dan sesuai dengan Hadits dan Al Qur-an.

Apa yang kita pertanyakan terkait ibadah sudah dibahas tuntas oleh ulama di dalam berbagai kitab karangannya, tinggal kitanya yang mau mendekati para masayikh, kiyai dan para ustad di majelis ilmu dan di pondok pesantren untuk mendengarkan langsung apa kata ulama di dalam kitabnya, bukan bermalas-malasan nonton di youtube.

Beda halnya dengan perkara iman, maka tidak syah imannya seseorang yang ikut-ikutan (taqlid) karena lingkungan dan garis keturunan, karena iman itu rasa yang tidak dipaksakan karena garis keturunan atau lingkungan tapi harus dari hasil berfikir sehingga muncul rasa kagum, rasa cinta kepada Allah yang Maha Menciptakan.

Maka jangan pernah kita berkata lancang kepada orang-orang non muslim karena kafirnya mereka, tapi sebaiknya kita introspeksi diri sendiri dulu, sudah berimankah kita kepada Allah?

Karena kafirnya mereka adalah Allah yang menghendaki termasuk kita yang terlahir dari keluarga muslim adalah Allah yang menghendaki, sehingga keimanan itu bukan gara-gara mengikuti orangtua atau lingkungan.

Jadi soal iman itu tidak boleh taqlid tapi harus dirinci (tafsili) melalui pendekatan tafakur terhadap asma, sifat dan af'alnya Allah dan beruntungnya kita umat akhir jaman ini sudah disediakan kaidah-kaidah tertulis dari ulama tentang ilmu 'aqidah seperti sifat 20 oleh imam Abu Hasan Al Asy'ari dan aqoid nabawiyah yang sudah kami sampaikan berdasarkan kitab tijan ad darori karangan syekh Ibrohim Al Bajuri, sehingga memudahkan kita mentafakuri sifat maupun asma Allah.

Kemudian tafakurnya kita di dalam mengenal Allah ini dibantu dengan metode thoriqoh melalui bimbingan seorang mursyid agar kita terhindar dari godaan setan.

Maka sangat penting bagi seorang murid untuk sering bertawajuh duduk bersama mursyidnya di majelis ilmu dan majlis dzikir untuk mendengarkan apa yang disampaikan mursyidnya untuk membantu seorang murid dalam proses suluk.

Jadi dalam islam berguru itu menjadi keharusan karena perintah tholabul 'ilmi itu hukumnya wajib dan di dalam bertholabul ilmi itu ada yang namanya tawajuh (bertatap muka) duduk bersama di majlis ilmu bersilaturahmi dengan jema'ah lain, mendengarkan langsung apa yang diucapkan oleh guru dengan talaqi atau bermusyafahah agar mendapat barokah yang semuanya itu tidak akan kita dapatkan dengan hanya menonton youtube.


Penutup

Di dalam majelis thoriqoh guru kami selalu berwasiat agar kita harus senantiasa bersyukur kepada Allah yang telah menciptakan alam jagat raya ini beserta isinya termasuk kita di dalamnya.

Senantiasa mencapkan iman di dada yang dewasa ini telah kian memudar, benahi ziarah kubur yang makin marak penyimpangan-penyimpangan di dalamnya dan menghidupkan sunah Rosul.

Dan jangan merasa sudah cukup dengan ilmu syari'at karena niat seseorang berthoriqoh adalah beribadah hanya kepada Allah maka dari itu penting bagi kita membenahi tata cara ibadah kita yang dijelaskan di dalam ilmu fiqih. 

Dan tak ada niat lain selain niat bertholabul ilmi ketika kita mendatangi majelis thoriqoh untuk menyempurnakan ibadah kita yang selama ini hanya sekedar memenuhi kewajiban tanpa adanya rasa cinta.

Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa urusan ibadah harus berbanding lurus dengan urusan hati, fiqih harus bersinergi dengan tashowuf melalui metode dzikir dan tafakur di dalam thoriqoh agar kita mengenal dzat yang kita ibadahi sehingga ibadah kita tidak asal-asalan.

Dan dari apa yang kami sampaikan dari guru kami apakah masih menganggap tashowuf dan thoriqoh itu momok yang menyeramkan dan sesat?

Wallahu a'lam bishowab
Open Comments

Posting Komentar untuk "Mensinergikan Antara Tashowuf dan Fiqih dan Menepis Stigma Negatif Terhadap Tashowuf dan Thoriqoh"