Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Najis yang Dimaafkan Pada Lumpur Jalanan yang Becek

Najis yang Dimaafkan Pada Lumpur Jalanan yang Becek

Daftar Isi Artikel: Tampilkan

 بسم الله الرّحمن الرّحيم

Berkata syekh Zainudin Al Malibari rohimahullahu ta'ala di dalam kitab fathul mu'in:

وعن قليل طين محلّ مرور متيقّن نجاسته، ولو بمغلّظ للمشقّة، ما لم تبق عينها متميّزة
Dan dimaafkan dari sedikitnya lumpur atau tanah tempat lewat yang diyakini oleh najisnya tanah itu, meskipun najisnya itu najis mugholadzhoh karena kesulitan, selama tidak tinggal oleh dzatnya najis padahal berbeda.

ويختلف ذلك بالوقت ومحلّه من الثوب والبدن
Dan berbeda-beda oleh yang demikian dimaafkan dengan meninjau waktunya dan tempatnya daripada pakaian dan badan.

وإذا تعيّن عين النّجاسة في الطريق، ولو مواطىء كلب، فلا يعفى عنها
Dan apabila nyata oleh benda najis pada jalanan, meskipun ia itu tempat injakan anjing, maka ia itu tidak dimafkan daripadanya.

وإن عمّت الطّريق على الأوجه
Sekalipun merata oleh najis itu akan jalanan atas pendapat yang mu'tamad.

وأفتى شيخنا في طريق لا طين بها. بل فيها قذر الآدميّ وروث الكلاب ولبهائم، وقد اصابحا المطر، بالعفو عند مشقّة الإحتراز
Dan telah berfatwa guru kami (Ibnu Hajar Al Haitami) tentang jalanan yang tidak ada tanah pada jalanan itu. Bahkan di jalanan itu ada kotoran manusia dan kotoran anjing dan kotoran binatang, padahal mengenai akan jalanan itu oleh hujan, berfatwa dengan dimaafkan ketika sulit menjaga diri.

Najis yang Dimaafkan Pada Lumpur Jalanan

Seperti yang disebutkan oleh mu'alif diatas, bahwa dimaafkan bagi sedikit najis yang bercampur lumpur yang mengenai pakaian pada sebuah jalan yang kita lewati yang mana jalan tersebut kita yakini najis.

Jadi seumpama kita lewat pada sebuah jalan di musim penghujan yang mana jalanan tersebut becek bercampur lumpur dan yakin ada najisnya, maka bila najis itu mengenai pakaian kita oleh fiqih dihukumi najis yang dimaafkan.

Artinya sholat kita tetap syah bila kita sholat ada lumpur yang bercampur najis menempel karena mengenai pakaian kita, dengan catatan yakin bahwa yang menempel itu hanya lumpur bukan kotoran manusia atau kotoran binatang, namun bila yang terlihat itu kotoran maka tidak dimaafkan.


Syarat Dimaafkannya Najis Bercampur Lumpur Pada Jalanan

Syarat dimaafkannya najis bercampur lumpur ini yaitu jika sudah tidak terlihat lagi zat najisnya artinya benda najisnya itu sudah hancur bercampur dengan lumpur sehingga tidak bisa dibedakan mana kotoran mana lumpur.

Kemudian syarat yang selanjutnya adalah lumpur tersebut terlihat sedikit tidak terlihat belepotan kemana-mana seperti orang yang habis jatuh, sehingga jika terlihat belepotan kemana-mana seperti mengenai wajah tangan dan di berbagai tempat, maka tidak dima'afkan, atau benar-benar terlihat bahwa itu adalah kotoran manusia atau binatang bukan lumpur maka tidak termasuk najis yang dimaafkan.

Kemudian bila benar-benar telihat bahwa di jalanan tersebut adalah benda najis seperti bangkai binatang atau kotorannya kemudian kita menginjak benda najis tersebut, maka jika mengenai pakaian tidak termasuk najis yang dimaafkan, yang artinya tidak syah sholatnya bila memakai pakaian tersebut.

Kemudian bila benda najisnya terlihat merata di jalanan seperti tempat berlalunya anjing atau babi atau kotoran binatang ternak yang terpapar di sepanjang jalan, maka menurut kaul yang mu'tamad tidak dimaafkan, meski ada sebagian ulama yang memaafkan seperti kaulnya imam Ramli di dalam kitab Nihayatul Muhtajnya.


Fatwa Imam Ibnu Hajar Terkait Najis di Jalanan Becek

Dari apa yang sudah dibahas di atas adalah najis pada jalanan yang berlumpur, maka oleh mu'alif memunculkan fatwa dari gurunya sebagai pembeda bahwa menurut Ibnu Hajar Al Haitami:

Jika pada jalan yang tidak berlumpur, seperti jalanan di jaman sekarang yang menggunakan aspal dan coran beton jika terdapat kotoran manusia atau kotoran anjing dan babi atau kotoran binatang lainnya pada jalan tersebut kemudian becek karena musim penghujan, jika mengenai pakaian maka dimaafkan.

Hukum air yang meluap karena banjir

Alasan Dimaafkannya Najis di Jalan Aspal yang Becek

Alasan dimaafkannya najis di jalanan becek yang mengenai pakaian ketika kita melewati jalan tersebut ketika musim hujan adalah karena sulit (masyaqoh) menjaga agar najis tersebut tidak mengenai pakaian kita saat melewati jalan tersebut.

Di dalam kaidah fiqih disebutkan bahwa kesulitan itu mendatangkan kemudahan karena hukum Islam diterapkan bukan untuk menyulitkan pemeluknya tapi rahmat bagi seluruh lapisan umat Rosulullah sholallahu 'alaihi wasallam.


Kaidah Fiqih Penting Hukum Asal dan Hukum Dzhohir

Kemudian disebutkan juga oleh mualif:

قاعدة مهمّة: وهي انّ ما اصله الطّاهرة وغلب على الظّنّ تنجّسه لغلبة النّجاسة في مثله
Ini adalah kaidah yang penting: dan adapun kaidah itu adalah bahwa sesuatu asal muasalnya suci dan lumrah atas prasangka oleh najisnya karena umumnya ada najis dengan semisalnya.

فيه قولان معروفان بقولي: الاصل والظّاهر او الغالب ارجحهما انّه طاهر عملا بالاصل المتيقّن
Padanya yaitu ada dua pendapat yang terkenal dengan dua pendapat: hukum asal dan hukum dzhohir atau hukum umum adapun paling kuatnya dari dua kaul itu yaitu sesuatu itu hukumnya suci karena mengamalkan dengan hukum asal yang diyakini.

لأنّه اضطب من الغالب المختلف بالاحوال والازمان، وذلك كثياب خمّار وحائض وصبيان واواني متديّنين بالنّجاسة
Karena bahwasanya hukum asal yaitu lebih kuat daripada hukum umum yang diperselisihkan pada keadaan dan waktu, adapun yang demikian itu seperti pakaian pembuat khamr dan pakaian perempuan yang haid dan pakaian anak kecil dan wadah-wadah orang-orang kafir yang beragama dengan najis.

وورق يغلب نثره على نجس، ولعاب صبيّ، وجوخ اشتهر عمله بشحم الخنجير
Dan dedaunan yang umum oleh jatuhnya dedaunan diatas najis, dan liurnya bocah, dan sutera jauh yang dibuatnya dengan lemak babi.

وجبن شاميّ اشتهر عمله بإنفحة الخنزير؛ وقد جاءه صلى الله عليه وسلم جبنة من عندهم فاكل منها، ولم يسأل عن ذلك؛ ذكره شيخنا في ((شرح منهاج))
Dan keju bangsa Syam yang mashur terbuat dari lemak babi; sungguh pernah datang pada Nabi sholallahu 'alaihi wasallam oleh keju dari sisi orang Syam maka dimakan oleh Nabi dari keju itu, dan tidak bertanya oleh Nabi dari yang demikian itu; disebutkan akan pendapat ini oleh guru kami (Ibnu Hajar Al Haitami) di dalam kitab syarah Al Minhajnya.

Hukum Asal yang Dimu'tamadkan

Yang dimaksud hukum asal di dalam fiqih yaitu jikalau pada benda yang asalnya suci kemudian ada perasangka bahwa benda tersebut najis karena melihat bahwa benda tersebut bercampur najis secara umum, maka ada dua pendapat yang dipakai yaitu pendapat hukum asal dan hukum dzhohir atau hukum umum dan pendapat yang lebih kuat dalam hal ini yaitu menggunakan hukum asal.

Seperti air sungai yang meluap ketika banjir di musim penghujan kemudian bercampur dengan air got yang meluber membanjiri jalan dan pekarangan rumah, maka air tersebut dihukumi suci.

Diambilnya hukum suci pada air tersebut karena menggunakan hukum asal yang mana air sungai yang meluap itu asalnya suci meski secara dzhohir bercampur najis seperti air got karena meluapnya air.

Begitupun dengan air hujan yang membanjiri jalan dan pemukiman warga kemudian bercampur najis air got, maka yang diambil adalah hukum asal yang mana air hujan itu asalnya suci artinya air tersebut suci meski secara dzhohir bercampur dengan najis.

Diambilnya hukum asal daripada hukum dzhohir atau umum yaitu berdasarkan pendapat ulama yang lebih kuat yaitu hukum asal yang diyakini.


Hukum Dzhohir yang Dimu'tamadkan

Kemudian digunakannya hukum asal ini tidak mutlak karena tergantung keadaan dan waktu, seperti kasus seseorang yang lupa membaca fatihah sesudah sholat selesai, maka yang diambil bukanlah hukum asal yang berarti belum membaca fatihah.

Secara dzhohir bilamana seseorang sudah membaca salam berarti semua rukun didalam sholat sudah dikerjakan, maka dalam hal ini yang dimenangkan adalah hukum dzhohir.

Bila dalam kasus ini yang dimenangkan adalah hukum asal maka dapat menyebabkan kesulitan (masyaqoh) karena harus menyempurnakan sholat dengan mengulang sholat (i'adah) dari awal dan bila ternyata masih juga ada yang kelupaan maka harus diulang lagi sehingga tidak ada selesainya gara-gara ragu, sementara waktu terus berjalan yang seharusnya digunakan untuk aktifitas lain seperti bekerja misalnya.

Maka dalam hal ini yang diambil adalah hukum dzhohir menurut kaul yang mu'tamad yaitu dianggap selesai tidak perlu mengulang sholatnya.

Beda halnya dengan orang yang ketika sholat lupa jumlah rakaat, maka yang diambil adalah hukum asal bukan hukum dzhohir.

Seperti sholat Isya yang diragukan jumlah rakaatnya oleh seseorang di dalam sholat, baru tiga rakaat apa sudah empat rakaat.

Jika melihat hukum dzhohir maka orang tersebut menganggap sudah empat rakaat karena merasa sudah lamanya ia mengerjakan gerakan sholat, namun karena yang diragukan adalah hukum asal yakni menganggap baru tiga rakaat yang diyakini.

Maka pada kasus seperti ini yang diambil adalah hukum asal yaitu baru tiga rakaat kemudian menambah jumlah rakaatnya dan mengerjakan sujud syahwi sebelum salam. Intinya ambil yang pasti buang yang ragu.


Contoh-contoh Digunakannya Hukum Asal Pada Najis yang Diragukan

Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa benda yang asalnya suci kemudian muncul keragu-raguan karena melihat hukum dzhohir bahwa bisa saja benda tersebut terkena najis maka yang diambil adalah hukum asal.

Seperti pakaian yang digunakan oleh orang yang membuat arak, bukan tidak mungkin bahwa pakaiannya itu terciprati oleh arak karena sebagaimana kita tahu bahwa arak itu najis, maka pakaian orang tersebut hukumnya suci dengan menggunakan hukum asal.

Atau pakaiannya seorang perempuan yang sedang haid meski menggunakan pembalut, bisa saja terkena bercak darah namun dihukumi suci dengan menggunakan hukum asal.

Atau pakaian anak kecil yang diragukan bebas dari najis karena yang namanya bocah belum faham dengan istinja sehingga kecing tanpa istinja (cebok), maka yang diambil adalah hukum asal yakni pakaian tersebut dianggap suci ketika anak tersebut kita gendong padahal bisa saja ada najis.

Atau pada wadah-wadah makanannya orang kafir yang bisa saja habis digunakan untuk menaruh hidangan dari daging babi atau arak, maka yang diambil adalah hukum asal yakni wadah-wadah tersebut dianggap suci artinya piring, gelas dan yang lainnya itu suci.

Atau dedaunan yang bisa saja bekas ditempati oleh ulat yang meninggalkan najis seperti bekas sarangnya yang dibuat dari sesuatu yang keluar dari anusnya, maka yang diambil adalah hukum asal yakni dedaunan tersebut dianggap suci.

Atau air liur bayi yang bisa saja muntahan yakni sesuatu yang keluar berasal dari perut besar yang hukumnya najis, maka yang diambil adalah hukum asal yakni air liur tersebut dianggap suci karena air liur itu bukan benda najis.

Atau tenunan kain jukh yang masyhur konon di dalam proses pembuatannya menggunakan lemak babi termasuk suci oleh mu'alif karena menggunakan hukum asal.

Atau kejunya orang Syam di jaman Rosulullah yang biasanya di dalam pengolahannya menggunakan lemak babi juga termasuk suci karena menggunakan hukum asal yang mana keju tersebut adalah suci meski bisa saja keju tersebut memang menggunakan lemak babi.


Dalil Digunakannya Hukum Asal Terkair Najis

Adapun dalil digunakannya hukum asal ini yaitu dengan mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Nabi sholallahu 'alaihi wasallam, karena Beliau pernah menerima keju dari orang Syam yang saat itu masyhur bahwa keju buatannya orang Syam menggunakan lemak babi.

Namun Rosulullah sholallahu 'alaihi wasallam memakan keju tersebut padahal bisa saja memang benar keju tersebut terbuat dari lemak babi.

Apa yang dilakukan Rosulullah menunjukan hukum bahwa keju asalnya suci berbahan baku susu, adapun adanya kemungkinan terbuat dari lemak babi itu belum pasti, sehingga yang diambil adalah hukum asal.

Dalil bahwa Nabi pernah memakan kejunya orang Syam ini dinukil oleh Mu'alif dari kitab syarah Minhaju Tholibin karya Ibnu Hajar Al Haitami.


Penutup

Dari apa yang disampaikan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tanah yang berlumpur karena hujan yang asalnya suci tetap dimaafkan apabila timbul keragu-raguan bisa saja bercampur najis kemudian mengenai pakaian seperti bagian bawah tepian celana atau sarung misalnya.

Begitupun juga air hujan atau air sungai yang asalnya suci kemudian meluap membanjiri jalan dan pekarangan rumah yang bisa saja bercampur najis, namun dimaafkan ketika muncul keraguan bahwa air tersebut bisa saja najis.

Jadi najis atau tidaknya suatu benda yang awalnya suci bisa dianggap tetap suci dengan melihat hukum asal bila datang keragu-raguan kemungkinan terkena najis dengan melihat umumnya benda suci tersebut berada pada tempat atau keadaan yang bisa saja terkena najis.

Kecuali jika jelas-jelas terbukti atau terlihat benda suci tersebut terkena najis. Seperti kotoran manusia atau binatang atau najis anjing dan babi yang mengenai pakaian, tubuh atau makanan, maka tidak dimaafkan.

Wallahu 'alam bishowab.

Open Comments

Posting Komentar untuk "Najis yang Dimaafkan Pada Lumpur Jalanan yang Becek"