Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Air yang Berubah dan Air yang Terkena Najis yang Tidak Boleh Digunakan Untuk Bersuci

Air yang Berubah dan Air yang Terkena Najis yang Tidak Boleh Digunakan Untuk Bersuci

Daftar Isi Artikel: Tampilkan

بسم الله الرحمن الرحيم

Berkata syekh Zainudin Al Malibari rohimahullahu ta'ala di dalam kitab Fathul Mu'in:

وغير متغيّر تفيّرا كثيرا، بحيث يمنع إطلاق إسم الماء عليه، بان تغيّر احد صفاته، من طعم او لون او ريح او تقدريّا

Dan (air mutlak itu) bukan air yang berubah dengan perubahan yang banyak dengan sekira-kira mencegah oleh perubahan itu akan kemutlakan nama atas air tersebut dengan berubahnya salah satu sifat-sifat air daripada rasa atau warna atau bau dan meskipun perubahannya itu bangsa takdir.

او كان التّغيّر بما على عضو المتطهّر في الأصحّ

Atau adanya perubahan itu oleh sesuatu yang ada di atas anggota tubuhnya orang yang bersuci pada kaul yang paling sohih.

Kitab fathul Mu'in
Pinterest


Air yang Berubah

Air suci tapi tidak mensucikan yang kedua adalah air yang berubah setelah air musta’mal pada penjelasan sebelumnya. Dan air yang berubah yang tidak boleh digunakan untuk berwudhu ada catatan-catatan perubahan jika dilihat secara hukum.


Air yang Berubah Karena Tercampur Oleh Benda Suci

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa air bekas berwudhu itu suci tapi tidak mensucikan. Jadi bila seumpama air mutlak yang ukurannya kurang dari dua kulah tercampur oleh benda suci seperti air bekas berwudhu, maka air tersebut adalah air musta'mal yakni air bekas bersuci yang artinya air tersebut tidak boleh digunakan untuk bersuci.

Kemudian jika air yang kurang dari dua kulah terkena najis meskipun sedikit, maka sudah pasti air tersebut menjadi air mutanajis yakni air yang terkontaminasi oleh benda najis sehingga tidak boleh dipakai untuk bersuci seperti, wudhu, madi wajib atau mandi sunah dan tidak boleh digunakan untuk istinja (cebok).

Jadi seumpama air seember terciprati air kencing meski air kencing itu sedikit, maka air di dalam ember tersebut adalah air mutanajis, sedangkan bila terkena air bekas bersuci seperti wudhu maka air tersebut adalah air musta'mal yang tidak boleh digunakan untuk bersuci.

Berbeda dengan air mutlak yang ukurannya lebih dari dua kulah kemudian terkena najis, maka harus dilihat dulu sebelum menentukan hukumnya apakah menjadi mutanajis apakah masih suci?

Jika air yang ukurannya lebih dari dua kulah tercampur benda najis kemudian berubah salah satu sifatnya seperti warna, bau dan rasanya, maka air tersebut adalah najis yang artinya tidak boleh digunakan untuk bersuci.

Namun jika air yang ukurannya dua kulah tersebut tercampur najis kemudian warna, bau dan rasa air tersebut tidak berubah, maka air tersebut masih suci dan mensucikan. Artinya air tersebut boleh digunakan untuk wudhu, mandi wajib atau mandi sunah dan beristinja (cebok).

Seperti misalnya air kolam renang yang sudah jelas volume airnya lebih dari dua kulah. Ketika terkena air kencing meskipun banyak, selama air tersebut tidak berubah baik warna, bau maupun rasanya, maka tidak menjadi najis.


Air yang Berubah Karena Tercampur Benda Suci yang Mudah Larut

Seperti air mutlak dalam panci yang sudah jelas kurang dari dua kulah kemudian tercampur daun teh kemudian larut/menyatu, maka air tersebut tidak boleh digunakan untuk bersuci karena bercampur dengan benda suci yaitu daun teh yang larut dengan air.

Berubahnya air dalam panci disertai berubahnya sifat air yaitu berubahnya warna, karena air yang sedikit itu berubah maka tidak boleh digunakan untuk bersuci meskipun suci. Disebut suci karena boleh diminum, maka disebut air suci tapi tidak mensucikan.

Sehingga pada air teh tidak bisa dipilah-pilah oleh pandangan mata karena larut dengan air. Sebaliknya jika berdampingan/tidak bercampur, maka tidak apa-apa. Seperti kayu, minyak wangi ataupun buhur meski tercium wanginya, maka tidak apa-apa karena tidak larut dengan air (berdampingan).

Adapun benda yang berdampingan antara air dengan benda selain air adalah seperti minyak meskipun minyak tersebut wangi atau kayu gahru dan buhur yang mana benda-benda tersebut tidak larut dengan air sehingga tidak dikatakan berubah.

Kayu gahru dan minyak walaupun keduanya harum atau buhur itu hanya berdampingan dengan air yakni tidak larut dengan air sehingga dianggap tidak merubah kemutlakan air tersebut dan air tersebut masih suci mensucikan.

Berbeda dengan air mawar karena air mawar itu bukan minyak dan bisa larut dengan air, maka ketika air mawar itu bercampur dengan air mutlak maka air tersebut tidak bisa dipakai untuk bersuci meskipun sudah hilang baunya.

Dan benda yang berdampingan dengan air yang selanjutnya adalah sayuran. Ketika sayuran bercampur air kemudian dididihkan, maka air tersebut berganti nama menjadi kuah. Dan pada kuah ini termasuk suci tapi tidak mensucikan.

Artinya kuah itu suci karena boleh dikonsumsi tapi tidak mensucikan karena tidak boleh digunakan untuk berwudhu, mandi wajib dan istinja, meski air tersebut banyak yakni lebih dari dua kulah.

Lalu bagaimana dengan air galon untuk minum, apakah suci mensucikan?

Air galon yang biasa diisi ulang itu termasuk suci, namun tidak mensucikan karena sudah berubah dan berubahnya air galon adalah perubahan sebangsa takdir. Artinya air yang diperuntukan untuk minum itu suci tapi tidak mensucikan artinya tidak boleh digunakan untuk bersuci, seperti untuk wudhu, mandi wajib dan istinja (cebok).


Air Suci yang Berubah Karena Tercampur Benda Suci Dengan Perubahan yang Mencolok

Seperti halnya air teh maupun air kopi meski suci tapi masuk kategori air yang berubah karena pada keduanya penamaan airnya sudah berubah dimanapun ia di tempatkan penamaannya terlepas dari wadahnya yakni tetap air kopi atau air teh.

Misalnya air kopi di dalam teko maka disebut air kopi. Ketika dipindahkan ke dalam gelaspun tetap disebut air kopi, bahkan ketika dipindahkan ke dalam bak misalnya tetap disebut air kopi.

Dikatakan perubahan yang banyak (mencolok) karena salah-satu sifatnya berubah baik warna, aroma maupun rasanya, walaupun dengan dikira-kira. Sebaliknya jika berubahnya air tersebut sedikit (tidak mencolok), maka tidak apa-apa selama pada kondisi air yang lebih dari dua kulah.

Kemudian sebagaimana disebutkan oleh syekh Zainudin di atas, bahwa air yang bercampur dengan benda suci pada tubuh manusia adalah termasuk air yang berubah yang tidak mensucikan.

Maka air yang bercampur dengan sabun di tubuh orang yang sedang mandi itu tidak mensucikan, berarti yang mensucikan tubuh kita ketika mandi bukanlah sabun, sabun sifatnya membersihkan kotoran pada kulit sedangkan untuk mensucikan tubuh kita adalah pada bilasan terakhir saat membersihkan seluruh sabun dari tubuh kita.

Begitupun pada pakaian yang dicuci, yang mensucikannya bukanlah sabun deterjen tapi pada bilasan terakhir menggunakan air yang mendatangi pakaian tersebut.


Air yang Berubah Karena Tercampur Benda Suci yang Tidak Dibutuhkan Oleh Air

Benda suci yang tidak dibutuhkan disini maksudnya adalah keadaan air itu bisa dijaga/dihindari jangan sampai bercampur.

Seperti misalnya air di dalam gelas bisa saja tidak kita campuri dengan teh, kopi atau susu atau sebaliknya, dan bercampurnya air digelas ini termasuk air yang bisa dijaga dari sesuatu yang tidak dibutuhkan oleh air.

Akan tetapi ada air yang tidak bisa dijaga perubahannya seperti air sungai yang bisa saja bercampur tanah/lumpur ketika hujan turun sehingga air sungai yang tadinya bening berubah warna menjadi keruh kecoklatan dan perubahan tersebut termasuk perubahan yang tidak bisa dijaga yakni alami.

Kemudian tanah tidak berpengaruh terhadap kemutlakan air yang lebih dari dua kulah. Sengaja ataupun tidak sengaja seseorang melemparkan tanah pada air kolam yang lebih dari dua kulah, maka air tersebut tetap suci mensucikan.

Begitu juga dengan garam air walaupun dengan sengaja dibuang ke kolam tetap suci mensucikan karena pada garam air hakikatnya dari air laut yang mengkristal.

Berbeda dengan garam gunung atau garam hasil pabrikan dilemparkan ke kolam, maka airnya tidak boleh dipakai untuk bersuci seperti wudhu, mandi wajib dan istinja.

Juga berbeda halnya dengan air kali yang tercemari limbah pabrik atau limbah rumah tangga sehingga air kali tersebut berubah, maka air kali tersebut tidak suci mensucikan karena berubahnya air kali tersebut diakibatkan oleh tangan-tangan manusia yang sengaja membuang limbah ke kali.

Sedangkan air kolam yang ukurannya lebih dari dua kulah bercampur dengan eceng gondok atau lumut, maka air tersebut masih suci mensucikan karena eceng gondok dan lumut hidupnya di air.

Atau seumpama pohon yang hidup dekat kali kemudian dedaunannya berjatuhan dengan sendirinya dari pohon tersebut kemudian membusuk hingga hancur didalam air tersebut maka tetap suci dan mensucikan.

Dan termasuk air suci mensucikan yaitu air yang berubah karena bercampur dengan benda yang berada pada tempat mengalirnya air seperti air hujan yang mengguyur atap rumah yang bercampur debu dan sampah dari dedaunan atau ganggang yang hidup di tempat mengalirnya air sungai.


Air yang Berubah Dengan Sebab Lamanya Diam

Seperti air kolam yang berisi air lebih dari dua kulah kemudian tidak dipakai beberapa minggu karena ditinggalkan kemudian air tersebut berubah warna kekuning-kuningan karena terkena debu dan benda suci lainnya, maka air tersebut masih suci mensucikan meski salah satu sifatnya berubah, karena berubahnya air tersebut secara alami bukan disengaja.


Air yang Bercampur Najis

Kemudian air mutlak itu bukanlah air yang bercampur najis (mutanajis) dan pembahasan tentang air terkena najis (air tidak suci dan tidak mensucikan) ada dua uraian, diantaranya adalah :

  1. Air sedikit kemudian terkena najis walaupun tidak berubah. 
  2. Air yang banyak yakni lebih dari dua kulah dan terkena najis, kemudian berubah.

Lantas berapakah ukuran air dua kulah itu? 


Ukuran Air Dua Kulah

Dalam takaran bagdad menurut kaul Imam Syafi'i air dua kulah itu sama dengan limaratus liter air menggunakan literan Bagdad. Kemudian jika dibawa dari bagdad limaratus liter itu ke Mekah menggunakan gerabah sebanyak lima gerabah karena setiap gerabah isinya seratus liter air.

Kemudian jika dibandingkan dengan takaran literan di Indonesia, limaratus liter bagdad itu sebanyak 216 liter. Sehingga ketika dibuat wadah menyerupai kubus, maka diukur menggunakan ukuran hasta dengan ukuran satu hasta seperempat yakni setiap hastanya 48 cm rata-rata ukuran hasta manusia kemudian ditambah seperempatnya yakni 12 cm, jadi total ukuran satu hasta seperempat sama dengan 60 cm.

Jadi jika hendak membuat bak untuk menampung air agar bisa digunakan untuk bersuci harus lebih dari 60 cm ukuran panjang, lebar dan kedalaman bak tersebut, tidak boleh kurang. Sehingga jika dijumlahkan 60 cm x 60 cm x 60 cm = 216 liter.

Untuk lebih aman dan sebagai ihtiyat ukuran dua kulah itu minimal 1 meter persegi dengan kedalaman minimal 1 meter agar ketika air dalam bak tersebut diciduk gayung kemudian air dalam baknya berkurang tidak menjadi musta'mal.

Karena ketika air sedikit yang kurang dari 216 liter air itu terciprati air dari tubuh kita, maka air tersebut menjadi air yang musta'mal sehingga tidak syah ketika seseorang wudhu atau mandi wajib maupun mandi sunah menggunakan air yang musta'mal atau air yang kurang dari dua kulah yang tercampur oleh benda suci.

Kemudian untuk wadah dalam bentuk silinder air ukuran dua kulah itu berdiameter satu hasta dengan kedalaman dua hasta, tidak boleh kurang, harus lebih.

Air dengan ukuran dua kulah atau lebih ini adalah salah satu syarat air yang boleh digunakan untuk bersuci, karena tak memberi dampak ketika tercampuri najis selama salah satu sifat dari air tersebut tidak berubah baik rasa, aroma maupun warnanya.

Meskipun pada air dua kulah tersebut ada benda najis yang hancur di dalamnya, meskipun ragu apakah volume air tersebut dua kulah apa tidak, jika demikian maka tidak najis bagi air yang memang wadah/tempatnya berukuran lebih dari dua kulah.

Jadi pada bak berukuran lebih dari dua kulah meski volume airnya berkurang karena telah digunakan itu diragukan apakah dua kulah apa kurang dari dua kulah, maka tetap dianggap airnya itu berukuran dua kulah.

Kemudian tidak harus menjauhi air yang lebih dari dua kulah untuk kita bersuci meski ada yang mengencingi air tersebut seperti air kolam, air sungai atau air laut.

Tidak ada keraguan pada air yang banyak yakni air yang lebih dari dua kulah, sehingga jika misalnya ada orang kencing di kolam renang kemudian ketahuan bahwa kolam tersebut telah dikencingi, maka tidak harus menjauhi air kolam tersebut kemudian pindah ketempat lain untuk berwudhu tapi gunakanlah untuk bersuci.

Karena selama air kolam tersebut tidak berubah warna, bau dan rasanya, maka air tersebut masih air mutlak yang bisa digunakan untuk bersuci srperti wudhu dan mandi wajib.

Berbeda jika dari air kencing tersebut menghasilkan buih maka hukumnya ada dua :

Pertama jika terbukti buih itu berasal dari air kencing bukan dari air yang dikencingi, maka najis. 

Yang kedua jika terbukti buih tersebut merupakan hasil dari air yang dikencingi maka air tersebut tidak najis.

Kemudian ketika ada seseorang yang membuang benda najis seperti tinja/kotoran manusia atau hewan ke air sungai kemudian percikan air sungai tersebut mengenai pakaian, maka tidak najis karena yang najis itu tinja bukan air sungai.

Kemudian ketika ada air yang sedikit (kurang dari dua kulah) didatangi oleh benda najis, maka air itu jadi najis. Lain halnya ketika benda najis didatatangi oleh air yang suci, maka benda najis itu jadi suci.

Seperti pakaian di dalam bak yang terkena najis kemudian diisi (didatangi) air untuk dicuci, atau kain pel yang bercampur najis pada ember kemudian diisi (didatangi) air yang suci maka benda pakaian tersebut tidak lagi najis, namun jika yang dilakukan adalah sebaliknya maka najis. 

Ketika berbicara air yang sedikit dalam fasal najis maka ada dua perkara yang mempengaruhi suci tidaknya air tersebut yaitu ada air warid yang artinya air yang mendatangi najis dan ada air maurud yang artinya air yang didatangi najis.

Maka air yang dikatakan najis itu adalah air yang didatangi najis (air maurud), seperti kain pel bekas mengelap najis kemudian dicelupkan pada ember yang berisi air yang suci, maka kain pel tersebut tetap najis.


Kesimpulan

Jadi perubahan pada air yang tidak bisa digunakan bersuci itu dipengaruhi oleh ukuran air dan sifat air. Jika air itu kurang dari dua kulah kemudian tercampur benda suci maka air tersebut tetap suci tapi tidak mensucikan.

Sedangkan pada air yang banyak yakni air yang lebih dari dua kulah itu lebih aman yang artinya boleh digunakan untuk bersuci ketika terkena benda suci selama tidak berubah warna, bau dan rasanya.

Walaupun berubah warna, bau dan rasa pada air yang lebih dari dua kulah, jika perubahannya itu sulit dijaga yakni perubahan yang alami seperti air belerang, maka air tersebut tetap suci mensucikan.

Sedangkan pada air yang sedikit bisa digunakan untuk menghilangkan najis bila air tersebut mendatangi benda yang terkena najis bukan sebaliknya.

Wallahu a'lam bishowab.



Sumber : Kitab Fathul Mu'in.

Open Comments

Posting Komentar untuk "Air yang Berubah dan Air yang Terkena Najis yang Tidak Boleh Digunakan Untuk Bersuci"