Ketika Perkara yang Mubah Menjadi Penghalang Kita Dari Allah S.W.T.
بسم الله الرّحمن الرّحيم
Berkata sayid Abdul Wahab As Sya'roni rohimahullahu ta'ala di dalam kitab minahus saniyah:
"Dan tinggalkan olehmu akan segala sesuatu yang mubah karena mencari untuk bisa naik pada kedudukan yang tinggi di sisi Allah."
Definisi Mubah
Mubah menurut syara' yaitu jika dikerjakan tak mendapat pahala dan jika ditinggalkan tak mendapat siksa, akan tetapi perkara mubah bisa bernilai pahala jika diniatkan untuk ibadah dan menghasilkan manfaat jika diisi dengan hal yang positif.
Jadikan Hal yang Mubah Bernilai Pahala Sunah
Seperti halnya tidur jika diniatkan untuk beristirahat sejenak agar bisa melaksanakan sholat malam, atau makan yang diniatkan untuk mensyukuri ni'mat yang diberikan Allah sehingga ada kekuatan untuk melaksanakan ibadah
Juga sekedar menjaga daya tahan tubuh sehingga tak berlebih-lebihan dalam makan yang malah mengakibatkan perkara yang mudhorot bagi tubuh, sehingga perkara-perkara yang mubah itu menjadi bernilai sunat ketika diniatkan untuk keperluan ibadah.
Seakan-akan perkara yang mubah ini terlarang bagi orang-orang yang dalam rangka menuju Allah artinya perkara mubah tak digunakannya untuk berleha-leha sehingga melupakan Allah, mubah baginya tidak digunakan untuk mencari keringanan-keringanan dalam menjalani perintah Allah, karena yang demikian menjadi sebab jauhnya kedudukan seseorang menuju Allah.
Mubah Adalah Bentuk Kasih Sayang Allah Kepada Hambanta
Adanya hukum mubah, karena Allah tahu akan sifat hambanya yang cenderung bosan/jenuh oleh sebab itu Allah memberi keringanan kepada hambanya untuk beristirahat, tidak akan disyari'atkan hukum mubah kepada manusia jika Allah tak memberikan rasa jenuh dalam diri manusia yakni hati yang merupakan bagian dari nafsu/syahwat.
Seperti halnya malaikat yang tidak diberikan oleh Allah rasa jenuh, maka tak berlaku hukum mubah bagi malaikat dan mereka tak ada satupun yang melakukan kelalaian-kelalaian.
Perkara Mubah Bisa Jadi Penghalang Seseorang Terhadap Rohmat Allah
Perkara mubah bisa menjadi sebab terhalangnya seseorang dari Allah ketika seseorang lebih cenderung melakukan perbuatan yang mubah untuk mendapatkan keringanan-keringanan sehingga dia terlena akan kenikmatan-kenikmatan dari apa yang dia inginkan.
Apa yang kita inginkan belum tentu dibutuhkan oleh kita, maka ulama mewanti-wanti agar kita tak menuruti apa yang kita inginkan sehingga kita terjebak kedalam syahwat, karena keinginan manusia tak ada cukupnya dan Allah Maha Mengetahui apa yang kita butuhkan.
Oleh sebab itu penting bagi kita mensyukuri ni'mat walau menurut pandangan kita adalah sesuatu yang sepele dan kecil padahal hakikatnya besar dan sangat berarti.
Di bawah ini ada beberapa peringatan dari ulama ahli tashowuf terkait pentingnya menghindari perbuatan yang berlebihan dari perkara yang mubah seperti jangan tidur berlebihan dan makan berlebihan.
Walaupun kita bukanlah tergolong ahli tashowuf tapi penting untuk diperhatikan karena sesuai dengan perintah Allah dan tuntunan Rasulullah agar kita tidak termasuk orang-orang yang melampaui batas yang menuruti hawa nafsu.
Tanbih
Telah berkata sayid Ali Al-murshofi :Tidaklah syah bagi seorang murid menapaki keinginannya (bisa naik pada kedudukan yang tinggi) sehingga meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat mubah.
Dan menjadikan tempatnya dari setiap perkara yang mubah yang dia tinggalkan itu diperintahkan oleh syara’ kepada hal-hal yang sunat atau yang lebih utama daripada perkara mubah (melakukan sesuatu yang bermanfaat) dan meninggalkan perkara yang mubah seakan-akan yang mubah itu dilarang baginya yaitu makruh tanzih (makruh pada level yang berat).
Dan mereka (ulama) sepakat bahwa setiap orang yang berusaha untuk dirinya melakukan rukhshoh-rukhshoh (keringanan hukum) bukan aza’im (ketetapan hukum), maka tidak akan datang dari orang tersebut yakni sesuatu di dalam thoriqoh.
Artinya mereka para muridin thoriqoh yang dalam proses suluk yakni menuju Allah akan berusaha keras tanpa mencari-cari keringanan di dalam usaha yang mereka emban dari gurunya untuk menuju Allah.
Telah berkata sayid Ali Al-khowash Rohimahullahu Ta’ala :
Tak akan menjadikan yakni Allah Ta’ala yaitu perkara mubah kecuali untuk istirahat bagi anak Adam Alaihi Sholatu wa Salam dari beratnya beban beribadah ketika dia meningkatkan kedudukannya disisi Allah Ta’ala.
Di dalam diri mereka ada kejenuhan dari beban-beban ibadahnya dan apabila sesungguhnya Allah Ta’ala tidak memberikan didalam dirinya anak Adam yakni rasa jenuh, maka tidak disyari’atkan kepada mereka hukum mubah.
Sebagaimana yang Allah lakukan kepada malaikat, karena para malaikat tidak mengenal rasa jenuh atau kecenderungan pada makan, maka oleh karena itu para malaikat bertasbih baik malam maupun siang tanpa rasa bosan.
Kemudian beliau juga berkata :Dan memang adanya kaum (para ahli tashowuf/mursyid) itu dengan karakter-karakter, dengan mengambil hukum-hukum dasar/hukum yang ditetapkan bagi mereka bukan ruhshoh (keringanan-keringanan) yang mereka ambil dalam rangka meningkatkan sebagaimana dia sudah diketahui dari hal/keadaan mereka.
Kaum (para ahli tashowuf/mursyid) itu meminta dari murid-muridnya untuk melakukan mengurangi perkara mubah, memberi semangat kepada mereka dan mereka menjadikan tempat yang mubah itu menjadi keta’atan yang menghasilkan pahala, maka jika tidak ditemukan yakni ta’at.
Maka diniatkan atas mereka dengan perkara mubah dari makan maupun berbicara diniatkan dengan niat yang baik sebagaimana takwa dalam ibadah, makan yang diinginkannya itu (bukan makan yang benar-benar dibutuhkannya) dan menghilangkan wajah masam dengan beramah-tamah (dengan menebar keceriaan/kebahagiaan) kepada saudara-saudaranya dengan berbicara yang membuat saudaranya bahagia.
Jangan Kebanyakan Tidur
Dan mereka memerintahkan untuk tidak tidur kecuali darurat dan tidak makan kecuali lapar (jangan kebanyakan makan yang sebenarnya menuruti syahwat) dan tidak boleh berbicara tanpa hajat (menjaga lisannya dari hal yang mudhorot bagi dirinya dan bagi oranglain) dan tidak boleh bergaul dengan manusia kecuali darurat (mereka menghindari perbuatan yang sia-sia).
Alasan kenapa mereka menghendaki agar murid-muridnya seperti itu adalah agar murid-muridnya diberi oleh Allah yakni pahala sebagaimana pahala melakukan kewajiban pada seluruh perilaku murid-muridnya (setiap perbuatan yang dilakukan termasuk yang mubah harus ada manfaatnya dan bernilai pahala).
Makan Sekedar Untuk Bisa Beribadah
Maka dia akan makan ketika wajib makan (dalam keadaan diwajibkannya makan guna menghindari sesuatu yang mudhorot bagi tubuhnya misal sakit, bukan makan karena dorongan keinginan) dan dia berbicara ketika berbicaranya dia merupakan kewajiban.
Jika turun dari kedudukannya dari sesuatu yang sunah (istihbab), maka dia makan ketika disunatkan makan, berbicara ketika disunatkan berbicara, dan mereka memerintahkan murid-muridnya jangan lupa untuk tidak berleha-leha baik siang maupun malam kecuali kalau ada hajat.
Membuang Bersitan-bersitan dan Tidak Kebanyakan Makan
Memerintahkan agar membuang bersitan-bersitan di dalam hatinya walaupun tidak diucapkan, memerintahkan agar tidak makan yang disebabkan oleh tuntutan syahwat karena menjadi sebab mandegnya perjalanan spiritual seorang murid untuk bisa naik."
Di dalam kitab Jabur Allah berfirman kepada nabi Daud :
“Wahai Daud berhati-hatilah kamu dan berilah peringatan kaummu dari makan karena syahwat, karena hatinya ahli syahwat itu terhalang dariKu.” sebagaimana makan yang didasari syahwat, Dia (Allah) menolak hamba dari sisi-Nya, begitupun seseorang yang leha-leha menjulurkan kakinya dengan tanpa adanya hajat adalah sama tidak sopan.
Wallahu a’lam bishowab.
Posting Komentar untuk "Ketika Perkara yang Mubah Menjadi Penghalang Kita Dari Allah S.W.T."