Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Pastikan Ada Air yang Mengalir Pada Anggota Wudhu dan Cara Berwudhu Orang yang Terus Menerus Berhadats (Lanjutan Syarat-syarat Wudhu)

Pastikan Ada Air yang Mengalir Pada Anggota Wudhu dan Cara Berwudhu Orang yang Terus Menerus Berhadats (Lanjutan Syarat-syarat Wudhu)

Daftar Isi Artikel: Tampilkan

  بسم الله الرحمن الرحيم

Berkata syekh Zainudin Al Malibari rohimahullahu ta'ala di dalam kitab fathul mu'in:

وثانيها: جري ماء على عضو مغسول، فلا يكفي ان يمسّه الماء بلا جريان لأنّه لا يمسّى غسلا

Adapun yang kedua dari syarat-syarat wudhu yaitu mengalirkan air atas anggota wudhu yang dibasuh, maka tidak memadai bahwa mengusapkan pada anggota yang dibasuh oleh air dengan tanpa mengalir karena sesungguhnya mengusap itu tidak bisa dinamakan membasuh.

Kitab fathul mu'in
Pinterest


Mengalirkan air pada anggota wudhu yang dibasuh dan mengusap anggota wudu

Adapun syarat syah wudhu yang kedua adalah mengalirkan air pada anggota wudhu yang dibasuh. 

Pengertian membasuh dalam berwudhu dalam madzhab syafi'i yaitu mengalirkan air pada anggota wudhu yang dibasuh seperti dibasuhnya bagian wajah, lengan dan kaki yang menjadi bagian fardhu dalam berwudhu, artinya pada bagian ini air harus mengalir seperti air dari telapak tangan yang mengalir sampai ke siku saat membasuh lengan.

Adapun mengusap dengan sentuhan air sedikit tidaklah memadai adanya air yang mengalir seperti disyaratkannya mengusap kepala/rambut saat berwudhu itu tidak dengan dibasuh.

Dari  perbedaan pengertian kata membasuh dan mengusap, maka di dalam kitab fathul mu’in memunculkan adanya syarat bahwa harus adanya air yang mengalir pada anggota wudhu pada saat dibasuh dalam berwudhu yang tidak bisa dicukupkan dengan hanya mengusap yang artinya mengusap itu hanya menyentuh anggota wudhu dengan sedikit air asal basah. 

Dikarenakan tidak adanya air yang mengalir pada anggota wudhu yang diusap maka mengusap bukanlah membasuh dan mengusap hanya disyaratkan untuk anggota wudhu selain wajah, lengan dan kaki yang termasuk kedalam fardhu/rukun.


Dalil Diperintahkannya Membasuh dan Mengusap di Dalam Wudhu

Adapun dalil yang mengharuskan kita agar mengusap dan membasuh di dalam berwudhu yaitu firman Allah di dalam Al Qur-an surat Al Maidah ayat 6:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِذَا قُمۡتُمۡ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغۡسِلُوۡا وُجُوۡهَكُمۡ وَاَيۡدِيَكُمۡ اِلَى الۡمَرَافِقِ وَامۡسَحُوۡا بِرُءُوۡسِكُمۡ وَاَرۡجُلَكُمۡ اِلَى الۡـكَعۡبَيۡنِ‌

"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki."

Dari ayat di atas Allah memerintahkan dengan menyebutkan kata membasuh dan mengusap, yang mana dalam pelaksanaannya tentu berbeda antara membasuh dan mengusap.


Tidak ada benda yang merubah kemutlakan air wudhu pada anggota wudhu

Syarat syahnya wudhu yang ketiga yaitu tidak ada sesuatu pada anggota wudhu yang dapat merubah air sehingga air yang tadinya mutlak menjadi berubah seperti adanya minyak ja’faron yang zatnya kental dan wangi kemudian menempel pada anggota wudhu.

Sehingga mempengaruhi sifat air yang suci mensucikan menjadi wangi selain daripada itu minyak ja’faron juga zatnya kental tidak cair seperti minyak-minyak yang lain.

Sehingga tidak syah wudhunya, namun oleh sebagian ulama syarat ini diperselisihkan dan kaul yang mu'tamad adalah bahwa tidak syah wudhunya seseorang jika pada anggota wudhu terdapat ja’faron.


Tidak ada Penghalang Antara air Dengan Anggota Wudhu yang Dibasuh

Kemudian syarat yang keempat yaitu ketika kita berwudhu air yang dibasuh atau diusapkan harus betul-betul mengenai kulit daripada anggota wudhu kita, sehingga ketika ada penghalang yang menghalangi air tersebut mengenai kulit, maka wudhunya tidak syah.

Ketika tangan kita terkena cat kemudian tidak dibersihkan terlebih dahulu maka tidak syah wudhunya kecuali bersih dari bercak cat yang menempel pada kulit pada anggota wudhu atau ketika kita merasa sudah membersihkan bercak-bercak cat pada anggota wudhu.

Kemudian setelah beberapa hari baru ditemukan ada bercak cat yang menempel pada anggota wudhu, maka sholat yang sudah dikerjakan beberapa hari setelah terkena bercak cat itu harus diulang. 

Ketika syarat tidak terpenuhi, maka yang disyaratkan itu tidak syah yakni ketika wudhu kita tidak sesuai dengan syarat-syaratnya maka sholatnya pun tidak syah.

Lain halnya dengan bekas tinta, hena dan pacar yang kesannya menutup kulit tidak mengapa karena pada keduanya telah dibuang dzatnya yang asli sedangkan yang menempel adalah bekasnya. 

Kemudian ada syarat tambahan yaitu bahwa tidak boleh ada kotoran di bawah kuku karena dianggap menghalangi air menurut pendapat mayoritas ulama terkecuali petani yang kesehariannya kukunya itu terkena lumpur yang tidak bisa menghilangkan kotoran dibawah kukunya meski sudah dipotong. 

Menurut pendapat Imam Gojali bahwa syarat bahwa menghilangkan kotoran di bawah kuku itu tidaklah perlu, termasuk Imam Zarkasi. Mereka berhujah bahwa nabi telah memerintahkan kepada kita untuk memotong kuku kemudian dibuang kotorannya dan sholat tidak diulang.

Dalil tersebut mengisyaratkan bahwa pada yang demikian itu dimaafkan, begitulah menurut Imam Ghozali, terkecuali adonan tepung di bawah kuku.

Menurut Imam Adzro’i mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Imam Gojali itu adalah dho’if (lemah), bahkan menurut Imam Al-mutawali dan Imam Nawawi bahwa kotoran di bawah kuku itu tidak dimaafkan, maka yang diambil adalah kaul ulama mayoritas bahwa tidak syah jika ada kotoran di bawah kuku ketika berwudhu. 

Imam Al-baghowi berfatwa bahwa bilamana ada kotoran yang datang di badan kita dari luar badan itu tidak syah wudhunya, tetapi jika kotoran itu datangnya dari badan seperti keringat yang membeku, maka syah wudhunya. Senada dengan pendapatnya Imam Yusuf Al Ardabili.


Masuknya Waktu Bagi yang Terus Menerus Berhadats (daimul hadats)

Adapun yang kelima dari syarat-syarat wudhu yaitu masuknya waktu bagi orang yang terus-menerus berhadats seperti orang yang beser kencing dan perempuan yang istihadhoh (haid yang lebih dari 14 hari).

Bagi perempuan yang haid setelah lima belas hari maka yang lebihnya itu bukan termasuk haid oleh ulama disebut istihadhoh yakni darah yang keluar itu bukanlah darah haid tapi ada kelainan.

Maka setelah lewat dari empatbelas hari atau nifas setelah melewati enampuluh hari (menurut madzhab Syafi’i) seorang perempuan diwajibkan sholat meski masih mengeluarkan bercak darah pada kemaluannya dengan syarat-syarat tertentu. 

Begitupun bagi seseorang yang biasanya terjadi pada manula yang terus menerus berhadats seperti beser, diwajibkan sholat dengan syarat-syarat tertentu dan syarat wudhu yang kelima ini tidak berlaku bagi orang yang dalam keadaan normal.

Adapun syarat bagi orang yang terus menerus berhadats seperti beser dan bagi perempuan yang istihadhoh yaitu bersuci pada saat sudah masuknya waktu ibadah yang mau dia kerjakan seperti sholat fardu, karena bagi keduanya tidak syah berwudhu diluar keperluannya untuk bersegera melaksanakan ibadah yang hendak dia kerjakan. 

Pada saat dia sudah menyangka dengan usahanya mencari tahu tanda-tanda sudah masuknya waktu sholat seperti melihat jam atau sudah terdengar kumandang adzan atau melihat perubahan alam seperti bergeraknya matahari atau berlalunya waktu petang pada malam dan berlalunya malam pada waktu fajar.

Maka dia harus membersihkan najis yakni bercak darah atau air kencing pada kemaluannya pada saat hendak berwudhu dan mengganti pembalut atau celana popoknya setelah hilangnya najis itu kemudian barulah dia berwudhu. 

Setelah selesai berwudhu kemudian bersegera melaksanakan sholat, meskipun seandainya bercak darah atau air kencing itu menetes pada pembalut atau celana popoknya pada saat sholat, maka sholatnya tidak batal.

Dan wudhunya orang yang daimul hadats atau istihadhoh yaitu seperti tayamum yakni bersuci dalam keadaan darurat yang dikerjakan hanya pada saat hendak melaksanakan sholat saja karena jika di luar waktu sholat maka tidak syah wudhunya.

Kemudian jika orang yang daimul hadas yang sekiranya ingin melaksanakan sholat jenazah maka syarat berwudunya harus dilakukan pada saat si mayit sudah dimandikan yang mana tatacara bersucinya seperti yang dijelaskan di atas.

Orang yang terus menerus berhadats tidak boleh dalam keadaan sudah berwudhu sebelum mayitnya dimandikan karena masuknya waktu untuk sholat jenazah yaitu setelah mayit selesai dimandikan, begitupun dalam sholat ghoib. 

Jika seandainya orang yang daimul hadats ini ingin melaksanakan sholat sunat tahiyatul masjid, maka wudhunya tidak boleh dilakukan sebelum memasuki masjid karena masuknya waktu untuk sholat tahiyatul masjid yaitu saat kita sudah berada di dalam masjid.

Dan wudhunya orang yang daimul hadats adalah setelah dia memasuki masjid setelah itu keluar lalu bersuci dan wudhu seperti yang sudah dijelaskan di atas kemudian barulah dia boleh sholat tahiyatul masjid. 

Jika dia ingin sholat rowatib yakni dalam pelaksanaan sholat sunat ba’diyah maka tidak syah sholatnya jika seandainya sholat fardhu itu tidak syah dikarenakan adanya kelalaian. 

Seumpama dalam sholat berjama’ah si imam lupa wudhu setelah batal maka tidak syah sholat ba’diyah tersebut dikarenakan sholat fardhunya tidak syah karena masuknya waktu sholat ba’diyah yaitu setelah syahnya sholat fardhu.

Kemudian dalam melaksanakan sholat jum’at, syarat wudhu bagi yang daimul hadats yaitu duakali berwudhu yaitu pada saat hendak dimulainya khutbah jum’at dan hendak melaksanakan sholat jum’at karena ada dua pelaksanaan ibadah dalam sholat jum’at yaitu khutbah dan sholat jum’at yang keduanya wajib.

Maka tidak syah bagi orang yang daimul hadats jika hanya melakukan satu kali berwudhu untuk waktu khutbah jum’at dan waktu sholat jum’at karena wudhu bagi orang yang daimul hadats adalah seperti halnya tayamum yakni bersuci yang sifatnya darurat yang hanya dilakukan satukali saja untuk ibadah yang fardhu.

Kemudian menunda-nunda pelaksanaan sholat untuk orang yang daimul hadats bisa dimaafkan jika menunda-nundanya itu dikarenakan sesuatu yang maslahat seperti duduk menunggu iqomat dikumandangkan dalam sholat berjamaah atau berjalannya orang tersebut menuju masjid.


Kesimpulan

Jadi syarat-syarat wudhu itu ada lima, diantaranya yaitu:
  1. Menggunakan air mutlak.
  2. Mengalirkan air pada anggota wudhu yang dibasuh.
  3. Tidak ada benda yang merubah kemutlakan air pada anggota wudhu.
  4. Tidak ada penghalang antara air dengan anggota wudhu.
  5. Masuknya waktu bagi orang yang terus-menerus berhadats.

Wallahu a'lam bishowab.


Artikel sebelumnya:

Sumber : Kitab Fathul Mu'in.

Open Comments

Posting Komentar untuk "Pastikan Ada Air yang Mengalir Pada Anggota Wudhu dan Cara Berwudhu Orang yang Terus Menerus Berhadats (Lanjutan Syarat-syarat Wudhu)"