Waspada Terhadap Lembutnya Sifat Riya
بسم الله الرّحمن الرّحيم
Lembutnya Riya
Setelah sebelumnya kita membahas tentang ridho dalam menerima rizki dari Allah, selanjutnya Mualif yakni Sayid Abdul Wahab Asya'roni, di dalam kitab Minahussaniyah mewanti-wanti agar berhati-hati dengan riya yang sifatnya lembut.
"Dan berhati-hatilah dari lembut-lembutnya riya karena takut daripada hilangnya pahala dan takut gelapnya qolbu dan termasuk riya yang lembut adalah merasa manisnya ibadah."
Biasanya kita bisa mengenali bahwa pada suatu perbuatan ada sifat riya'nya dengan melihat adanya indikasi ingin dilihat oleh oranglain dan ini sangat berbahaya karena bisa merusak nilai ibadah, tapi jauh lebih berbahaya riya yang sifatnya lembut atau samar.
Dikatakan lembut dan sangat berbahaya karena tidak nampak oleh pandangan kita apalagi oleh oranglain, tapi bisa kita rasakan sendiri indikasinya dengan meraba hati kita yakni introspeksi.
Di dalam kitabnya, Mushonif mengutip perkataan dari Syekh Ibrohim Al Mathbuli yang berwasiat:
"Lembut-lembutnya riya itu adalah racun yang mematikan, dia bisa membatalkan amal, kalaulah bukan karena kesaksian orang-orang yang lemah daripada agungnya maqom mereka (orang-orang yang riya) di sisi manusia dengan bangun malam secara sempurna, mereka sebenarnya tidak bisa menghidupkan meskipun satu malam secara sempurna, apalagi dawam tiap malamnya sepanjang masa."
Riya di Dalam Ibadah
Menurut Syekh Ibrohim Al Mathbuli, bahwa orang yang riya di dalam ibadah yaitu ketika dia membandingkan ibadahnya dengan oranglain yang kedudukannya dianggap rendah.
Menurut pandangan orang awam dia itu terlihat sempurna ibadahnya karena rajin bangun di sepertiga malam, padahal pada kenyataannya dia tidak bisa merasakan lezatnya ibadah ketika tidak ada oranglain di sisinya yakni ketika sholat sendiri.
Seperti yang disebutkan diawal perkataannya Syekh Ibrohim, bahwa riya itu racun yang mematikan dan membatalkan amal, maka sangat disayangkan jika kita tidak segera memperbaiki qolbu kita karena jika dibiarkan akan sia-sialah amal ibadah kita.
Hati-hati Terhadap Perasaan Manisnya Ibadah
Perasaan manisnya ibadah adalah hal yang pasti pernah dirasakan oleh setiap orang termasuk kami dikala ingin khusu' dalam ibadah, namun khusu'nya ibadah sering kali bisa kita rasakan pada saat berjama'ah, seperti dzikir, nah inilah yang oleh Mualif maksudkan dengan riya yang lembut, tapi jika hati memang terbawa khusu' tanpa ada keinginan agar terlihat hebat oleh jema'ah lain berarti bukan riya, tapi karena kuatnya robithoh antara guru dan murid dalam satu majlis dzikir.
Telah disepakati oleh orang-orang 'Arif, bahwa sesungguhnya sebagian dari pada riya adalah merasa manisnya ibadah karena sesungguhnya diri ini tidak ni'mat untuk ibadah kecuali sesuai hawa nafsunya, jikalau murni dari hawanafsu maka pasti berat dalam beribadah.
Baik yang dzhohir maupun yang batin, yang menjadi tujuan dari sifat riya bukan semata-mata karena Allah, tapi karena adanya motif lain selain Allah, karena ibadah itu sesungguhnya sangat berat jika bukan karena ada iming-iming atau embel-embel makhluq.
Riya di Dalam Beramal
Sebagaimana disebutkan oleh mualif, bahwa bagian daripada riya yang lembut yang kedua adalah beramal karena Allah tetapi juga karena ada tujuan lain selain Allah.
Telah berkata Syekh Abdul Qodir Addusythuthi Rohimahullahu Ta’ala :
“Hendaklah engkau memurnikan tujuan untuk Allah Ta’ala, jangan kamu remehkan hal yang demikian dan kamu ridho dengan tipu dayanya dirimu terhadapmu, kamu akan hancur. Karena adanya sesuatu yang membangkitkan kamu dalam ibadah itu ada dua hal, yaitu yang fana dan yang kekal.”
Di sini Ulama memberi rambu-rambu agar kita seharusnya memurnikan tujuan dalam ibadah jangan beribadah karena termotifasi oleh hal yang sifatnya fana tetapi harus bedasarkan karena yang Maha Kekal yaitu Allah.
Antara yang Baqo dan Fana
Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sifat 20 yang di dalamnya ada sifat baqo yang artinya kekal, bahwa segala sesuatu yang ada adalah fana, hanya dzat Allah yang kekal, berdasarkan nash Al-qur’an Surat Arrohman.
Dalam thoriqoh ada metode dimana fikiran kita fana dari memikirkan sesuatu selain Allah ketika dzikir dan bertawajuh, karena memang hanya Allah yang haq memiliki sifat baqo, sehingga mereka muridin thoriqoh dilatih untuk hanya fokus kepada Allah, dan menganggap bahwa alam ini tidak ada dan ini yang membuat mereka merasakan ni’mat ketika bertawajuh disertai dzikir.
Kembali pada penjelasan mualif yang mengatakan, bahwa jalan riya yang seperti ini yakni antara yang fana dan kekal adalah yang paling susah dibedakan oleh pemula, karena yang demikian ini samar-samar bagi mereka dan membuat mereka susah untuk memurnikan tujuan dalam beribadah.
Berbeda dengan riya yang jelas kelihatan, sepintas mudah kita kenali dengan jelas oleh mata kita dan mudah difahami dengan pemikiran yang sederhana.
Ikhlas Tingkatan Awam
Kemudian dikatan oleh sebagian ahli thoriqoh, bahwa ketika yang unggul itu penyemangat yang sifatnya baqo/kekal yakni karena Allah, maka niat orang tersebut dihukumi ikhlas.
Seperti misalnya seseorang yang berniat puasa karena Allah tapi di sisi lain dia berniat untuk berhemat, tapi pada pelaksanaannya orang tersebut lebih cenderung karena Allah dengan meningkatkan amal shodakohnya begitupun dengan amal jariyahnya yang semuanya karena Allah, maka menurut sebagian Ulama ahli thoriqoh yang demikian ini termasuk ikhlas.
Ikhlas Bagi Para Salikin
Berbeda bagi mereka yang dalam proses menuju Allah yang disebut suluk dan pelakunya disebut Salik jama’nya Salikin, dikatakan bahwa apa yang dijelaskan diatas tidak berlaku bagi mereka dalam bersuluk di dalam berthoriqoh, kecuali bagi mereka yang awam.
Dan contoh lainnya yang dijelaskan oleh mualif yaitu seperti seseorang yang melakukan sholat berjama’ah dengan berdiri pada barisan pertama agar mendapat keutamaan pahala, tapi berdirinya dia di samping seorang penguasa agar dapat kehormatan, maka yang seperti ini juga termasuk mencampurkan niat antara yang fana dan yang baqo.
Telah disepakati oleh Ulama ahli thoriqoh, bahwa sesungguhnya mentauhidkan tujuan adalah wajib hukumnya, artinya bahwa diwajibkan atas seseorang untuk tujuan karena Allah saja di dalam ibadah jangan karena yang lain yang menjadi motifasinya.
Syekh Karawang Gana |
Sedikit kami kutip wasiat dari guru kami terkait pentingnya bersyukur dan mentauhidkan Allah, bahwa selamanya kita harus bersyukur kepada Allah yang telah menciptakan alam jagat raya ini beserta isinya termasuk kita di dalamnya, yang tidak keluar dari pengaturan dan kekuasaan Allah.
Adanya alam termasuk kita di dalamnya diciptakan atas dasar sifat welas-asih Nya, yang selamanya menjadi raja diraja meski alam ini musnah setelah kiamat, sehingga hanya kepada Allah kita menyembah dan meminta pertolongan agar tetap berada di jalan yang lurus, bukan jalan orang-orang yang dimurkai Allah dan bukan jalan orang-orang yang sesat.
Penutup
Demikian yang diwasiatkan oleh guru kami dan selalu diulang-ulang untuk mengingatkan murid-muridnya bahwa wajib bagi kita bersyukur kepada Allah sebagaimana dikatakan dalam Al-qur'an surat Al Fatihah sebagai azas di dalam mentauhidkan Allah.
Wallahu a'lam bishowab.
Posting Komentar untuk "Waspada Terhadap Lembutnya Sifat Riya"