Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Bolehkah Menampakan Kemewahan Dalam Bersyukur?

Bolehkah Menampakan Kemewahan Dalam Bersyukur?

Daftar Isi Artikel: Tampilkan

 بسم الله الرّحمن الرّحيم

Maqom Sidiq

Di dalam tashowuf ada yang disebut maqom sidiq, yaitu maqom tertinggi bagi mereka yang tidak pernah menunda-nunda dalam menerima kebenaran termasuk tidak menunda-nunda perintah dari Allah sehingga dalam ibadahnya, mereka ini dengan sepenuh hati mengagungkan Allah Ta'ala, tidak asal mengerjakan sebatas memenuhi kewajiban.

Adanya pencapaian pada maqom sidiq oleh seseorang ini tentu tak lepas dari qudroh dan irodahnya Allah Azza wa Jalla, karena mereka yang berada pada maqom sidiq ini adalah orang-orang pilihan Allah yakni para Aulia adapun dibarenginya usaha seseorang di dalam bersuluk juga sebenarnya bagian dari qudroh dan irodahnya Allah.

Adalah Sayidina Abu Bakar yang dengan terang-terangan disebutkan oleh Rosulullah sholallahu 'alaihi wasallam dengan sebutan Assidiq, karena tak ada sedikitpun keragua-raguan di dalam hati Sayidina Abu Bakar terhadap kebenaran yang dibawa oleh Rosulullah.

Lalu bisakah seseorang yang bukan dari kalangan Nabi atau sahabat Nabi berada pada maqom sidiq?

Jawabannya bisa, selama Allah menghendaki disamping usaha seseorang didalam mendekatkan diri kepada Allah yang dijelaskan dalam ilmu tashowuf dalam majelis thoriqoh, namun maqom bukanlah tujuan seseorang di dalam berthoriqoh.


Mengerjakan Sunah Seakan-akan Wajib

Sayid Abdul Wahab Asya'roni di dalam kitabnya Minahussaniyah, mengatakan, bahwa tidak akan dicapai oleh seorang murid yaitu maqom shidiq kecuali orang tersebut menambahkan dalam mengagungkan perintah Allah Ta'ala dan larangan-Nya.

Kemudian bagi mereka, melakukan perkara yang sunah itu seakan-akan menjadi wajib. Bukan berarti bahwa mereka ini menyalahi hukum yang ditetapkan oleh syara' di dalam fiqih, tetapi bagi mereka mengerjakan sunah itu sangat penting karena mengagungkan Rosulullah sholallahu 'alaihi wasalam.

Mereka tidak meninggalkan apa yang diperintahkan dan dicontohkan oleh Rosulullah, jadi yang sunah itu tetap sunah hukumnya, akan tetapi di dalam menjalankan hukum syari’at dan sunah mereka ini tidak main-main.

Dari penjelasan diatas, kami melihat adanya benang merah antara apa yang dilakulan oleh orang-orang pada maqom sidiq dengan apa yang juga dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hambal pada pembahasan fiqih terkait pendapatnya tentang diwajibkannya berkumur di dalam wudhu yaitu dengan tidak meninggalkan apa yang dicontohkan oleh Nabi.

Menurut Imam Ahmad bin Hambal, bahwa kumur-kumur di dalam wudhu ini tentunya sangat penting sekali untuk tidak ditinggalkan karena Beliau mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rosulullah sholallahu a’laihi wasallam.

Bukan berarti Imam Syafi'i tidak menganggap ini penting, tetapi bentuk kehati-hatian Imam Syafi'i di dalam mengambil hukum sehingga hukumnya menjadi sunah muakad yang jika ditinggalkan menjadi makruh dan makruh di dalam beribadah bisa mengurangi nilai ibadah, bukan wajib karena tidak diperintahkan oleh Allah di dalam Al-qur'an dan pendapat kedua Imam ini dua-duanya benar.

Mereka para Mujtahid mutlak yang terdiri dari empat itu, merupakan Ulama ahli Allah yang masih di jalur tashowuf, karena qudroh dan irodah Allah lah yang menempatkan mereka di dalam koridor fiqih untuk memecahkan persoalan-persoalan hukum di dalam praktek ibadah di tengah-tengah umat yang majemuk.


Meninggalkan Perkara Makruh

Selanjutnya mualif melanjutkan dengan mengatakan bahwa mereka yang berada pada maqom sidiq meninggalkan perkara yang makruh, seakan-akan yang makruh ini adalah haram dan mereka menjauhi yang haram, seakan-akan yang haram ini adalah kekufuran dan mereka meniatkan perkara yang mubah dengan seuatu yang baik yang mendatangkan pahala, seperti tidur siang dengan niat agar nanti bisa mengerjakan qiyamu lail.

Istirahat sebentar dengan tidur siang, bagi mereka hanya sekedar obat menghilangkan kejenuhan setelah beribadah. Rasa jenuh yang sesungguhnya dorongan syahwat ini hakikatnya adalah pemberian Allah, seperti yang sudah dijelaskan pada posting sebelumnya, yang mana hukum dari beristirahat ini adalah mubah, namun bernilai pahala bila diniatkan untuk ibadah dengan meneladani perbuatan Nabi, seperti mencontoh cara tidurnya Nabi.

Dikatakan, bahwa pada kondisi tubuh kita ini ada nafsu yang berucap : “ikutilah bersamaku dalam tujuan-tujuanku, jika tidak aku palingkan engkau.”

Syahwat dibolehkan untuk dituruti, dengan catatan bukan hal yang diharamkan dan yang dimakruhkan, seperti tidur sejenak misalnya, dengan tujuan untuk membangkitkan gairah dalam ibadah dan dorongan syahwat ini berasal dari tubuh kita, sedangkan syetan sebagai pemicu yang berbisik di hati kita, sehingga Ulama menganjurkan dzikir yang dihujamkan ke hati, yang tujuannya untuk menetralisir syahwat yang ditunggangi oleh syetan.

Jika keinginan untuk tidur saja dikatakan syahwat, lantas bagaimana dengan perilaku orang kaya yang ke mana-mana pakai mobil mewah, bukankah agama melarang kita bermewah-mewah?


Pengertian Mewah

Pengertian mewah sebenarnya relatif, tergantung dilihat dari sudut pandang yang mana. Contohnya orang kaya yang mempunyai kendaraan mobil yang oleh orang miskin itu adalah barang mewah, tapi berbeda menurut orang kaya tersebut, bahwa dia punya mobil karena memang diperlukan untuk membantu dia mempermudah pekerjaannya yang memakan waktu jika dengan mengendarai sepeda atau kendaraan umum.

Berbanding terbalik ketika ada orang kaya yang tidak punya keturunan melihat abang becak pulang ke rumah dengan disambut teriak anak kecil memanggil bapaknya, yang dianggap oleh orang kaya tersebut, bahwa itulah surga dunia yang sesungguhnya yang tidak ternilai harganya.

Yang tidak dibenarkan dalam agama bagi orang-orang yang oleh Allah tempatkan pada maqomnya orang kaya adalah mereka yang menggunakan kekayaannya untuk hal-hal yang dibenci oleh Allah, karena pada mereka ada maqom zuhud jika hartanya itu ditashorufkan di jalan Allah.


Tashowuf Bukan Meninggalkan Tanggungjawab Duniawi

Mungkin tidak banyak diketahui oleh umum, bahwa mereka para Aulia Allah bukanlah orang-orang yang selalu identik dengan kemiskinan, sebut saja seorang Sulthonul Aulia Syekh Abdul Qodir Jailani atau Syekh Junaidi Al Bagdadi qodashollahu sirohumal ‘ajiz, keduanya merupakan ahli silsilah thoriqoh juga seorang Waliyullah.

Mereka ahli Tashowuf, tapi tak meninggalkan perannya sesuai apa yang Allah takdirkan. Syekh Junaedi adalah seorang guru besar tapi juga saudagar kaya yang memiliki banyak emas dan Syekh Abdul Qodir Jailani, konon memiliki ratusan kuda.

Mereka semua ahli Zuhud yang tidak mencintai dunia dan tidak diperbudak oleh dunia dan yang paling masyhur adalah Nabi Sulaiman ‘alaihi sholatu wa sallam, yang kelak menjadi pemimpin orang-orang zuhud di padang Mahsyar setelah hari kiamat.

Minahus saniyah


Menampakan Kemewahan Sebagai Wujud Syukur Bukan Untuk Riya

Kemudian di dalam kitabnya mualif menjelaskan, bahwa boleh-boleh saja bagi seseorang memakai pakaian bagus dengan niat menampakan ni’mat yang telah Allah berikan kepadanya, yang bukan bagian dari hawa nafsu tapi untuk mengagungkan Allah atas ni’mat yakni rizki yang diperoleh, selama yang ia pandang adalah Allah bukan karena ingin dilihat oleh oranglain. 

Kemudian tidak apa-apa sesekali memakan makanan mewah atau minuman yang menyegarkan serta manis dengan niat menampakan rasa syukurnya kepada Allah atas rizki yang ia peroleh, agar bisa dinikmati oleh anggota tubuhnya, sehingga keluar pujian dari anggota tubuhnya itu dengan mengucap “Alhamdulillah”.

Setelah menyimak keterangan dan contoh dari Ulama ahli tashowuf dan kehidupan para ‘Arif billah di atas, mungkin terbersit sebuah pandangan, bahwa thoriqoh tak ada bedanya dengan mereka yang ahli dunia kalau begitu.

Di jawab oleh guru kami Syekh Karawang Gana : Barangsiapa yang hanya mencari kemewahan dan keni’matan dunia, maka yang dia dapat hanya dunia dan di akhirat dia sengsara, tapi barangsiapa yang mencari tujuan akhirat maka dia akan mendapat dua-duanya.

Bagi seorang mu’min tidak boleh mengikuti orang-orang yang kufur yang hanya mencari dunia, tapi tujuan mu’min dalam hidup hanya satu yaitu ingin mengabdi hanya kepada Allah.

Adalah buntu, jika seseorang niat hanya untuk dunia, seperti ingin menjadi pejabat, ingin naik pangkat, ingin jadi pemimpin, termasuk ingin menjadi seorang Kiyai. Karena menganggap apa yang sudah dia capai nantinya dijadikan kebanggaan dan pada yang demikian ini tak ada masadepannya.

Berbeda ketika seseorang berniat hanya ingin mengabdi kepada Allah dengan menjalani takdirnya, seperti jadi pejabat, jadi pemimpin, jadi pengusaha, jadi pedagang, jadi petani, jadi Kiyai, jadi President dan lain-lain, maka inilah sebaik-baik keinginan dan tujuan hidup karena memiliki masadepan yakni mengharap ridho Allah.

Niat yang menjadi tolak-ukur, seseorang itu riya apa ikhlas? Apakah seseorang itu bersyukur ataukah kufur? Ini menjadi bahasan panjang ketika kita menyebutkan hadits Nabi tentang niat, karena hadits “Al a’malu binniyat” yang ditulis di awal kitab shohih Bukhori ini adalah sepertiga ilmu di dalam Islam.

Yang dipandang oleh Allah terhadap amaliyah hambanya dalam beribadah adalah qolbu seseorang yakni niat, bukan ucapan yang sering berbohong bukan pula perbuatan pura-pura.


Penutup

Jadi setiap apa yang dikerjakan oleh seseorang, maka kita tak boleh berburuk sangka terhadap perilaku orang tersebut, seperti memakai pakaian bagus atau kendaraan mewah untuk ibadah, karena hanya Allah yang tahu apa yang diniatkan oleh orang tersebut di dalam qolbunya.

Cobaan bagi seseorang di dalam menjaga hatinya adalah dengan melihat perbuatan oranglain lalu su’udzon. Baik dan buruk niat seseorang biar Allah yang menilai karena itu memang haq Allah bukan haq kita.

Di sinilah pentingnya ilmu tashowuf dalam menata hati kita yang di dalamnya berantakan karena adanya penyakit, dan Ulama ahli Tashowuf  lah bagiannya, agar ibadah kita berkualitas di sisi Allah, tidak disertai embel-embel, cukup dengan niat karena Allah Ta’ala.

Seperti yang kita ketahui, bahwa harta yang dimiliki oleh seseorang nantinya akan dihisab dihadapan Allah dan hisab bagi orang-orang kaya adalah yang paling lama karena satu persatu dari harta mereka akan dihisab dan akan dimintai pertanggung-jawaban.

Beruntunglah orang-orang yang Allah tempatkan pada maqomnya orang faqir karena sedikit sekali bahkan nyaris tak ada harta yang mereka miliki yang dihisab kelak di padang Mahsyar, meskipun begitu tetap saja maunya kita pengen kaya padahal kaya belum tentu bahagia.

Kuncinya adalah bersyukur, karena dengan mensyukuri ni’mat meskipun terlihat kecil dan sepele, maka Allah akan menambahkan ni’mat-Nya, sebaliknya jika tidak pernah bersyukur malah mengeluh, maka tunggu azab yang pedih.

Wallahu a’lam bishowab.

Open Comments

Posting Komentar untuk "Bolehkah Menampakan Kemewahan Dalam Bersyukur?"