Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Hal-hal yang Diharamkan Bagi Orang yang Berhadats dan Adab Terhadap Al Qur-an

Hal-hal yang Diharamkan Bagi Orang yang Berhadats dan Adab Terhadap Al Qur-an

Daftar Isi Artikel: Tampilkan

بسم الله الرّ حمن الرّحيم

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh ketika menjawab seorang laki-laki dari Hadhromaut tentang apa yang dimaksud dengan hadats, beliau menjawab bahwa hadats itu kentut baik dengan suara ataupun tidak.

Definisi Hadats

Hadats merupakan penyebab batalnya wudhu seseorang yang penjelasannya sudah kami sampaikan pada posting 4 Hal Penyebab Batalnya Wudhu, dan hadats ini memiliki tiga kategori yang dijelaskan di dalam kitab Fathul Mu'in yaitu hadats kecil, hadats pertengahan dan hadats besar jika ditinjau dari jumlah larangannya dan yang sedang kita bahas sekarang adalah tentang hadats kecil.

Jadi, hadats itu adalah keadaan seseorang yang tidak suci dan dari ketiga kategori tadi maka ada perbedaan larangan dan tatacara bersuci yang diatur dalam ilmu fiqih dan cara bersuci dari hadats kecil ini adalah dengan berwudhu.

Sasaran Dari Pembahasan Tentang Bersuci (Thoharoh).

Adapun sasaran dari pembahasan tentang thoharoh ini ada empat materi pembahasan diantaranya yaitu :

  1. Wudhu, yang sedang kita bahas.
  2. Mandi, pada posting berikutnya.
  3. Tayamum, pembahasan lengkapnya insya Allah pada posting berikutnya.
  4. Najis, juga akan kami bahas pada posting berikutnya.

Pinterest


Hal-hal yang Diharamkan Bagi Orang yang Berhadats.

Adapun hal-hal yang diharamkan bagi seseorang yang berhadas melakukan sesuatu yang berkaitan dengan ibadah yang disebutkan oleh mualif di dalam kitabnya yaitu :

  1. Sholat dan khutbah jum’at yang tidak disebutkan oleh mualif karena khutbah jum’at termasuk ke dalam rukun dalam pelaksanaan sholat jum’at sehingga masuk kedalam kategori sholat.
  2. Thowaf.
  3. Sujud.
  4. Megang dan membawa Al Qur-an.
  5. Menulis mushaf Al Qur-an.
  6. Memegang lembaran Al Qur-an. 

Diharamkan Sholat Bagi Orang yang Berhadats.

Seperti yang sudah kita ketahui dan terfahami sebagai muslim yang mukalaf bahwa tujuan kita sholat yaitu menyembah Dzat yang Maha Kuasa dan Maha Suci lagi Maha Tunggal yaitu Allah, karena Allah satu-satunya tuhan yang haq disembah dan tak ada sesuatupun yang luput dari kuasanya.

Allah adalah Dzat yang Maha Suci yang artinya suci dari sangkaan fikiran manusia yang menyamakan keberadaan Allah seperti makhluk begitu pula dengan sifat-sifat-Nya dan af’al-Nya (perbuatan-Nya), maka sudah selayaknya kita sebagai hamba-Nya memperlakukan keberadaan Allah dalam keadaan suci, setidaknya suci dari hadats ketika beribadah.

Jika kita perhatikan perbuatan Ulama, para Salafus Sholih terlebih para Auliya Allah sesungguhnya mereka sangat menjaga wudhu mereka dengan sebisa mungkin tidak berhadats, karena bagi mereka adalah suatu kerugian bilamana tidak bisa tajalli terhadap Allah yang Maha Waspada dan bagi mereka sedetik saja goflah yakni luput dari mengingat Allah, maka dianggap dosa bagi mereka.

Kejauhan memang, ketika kita mengambil ibaroh dari para Auliya Allah, namun ada hal yang bisa kita ambil pelajaran bahwa Allah lebih dekat dengan mereka-mereka yang suci, dalam artian bahwa bagi kita yang terhalang oleh hijab-hijab yang dikarenakan oleh dosa akan lebih kecil kemungkinan diqobulnya do’a.

Dengan berwudhu, maka seseorang bisa dikatakan suci dari hadats dan memadai untuk melakukan ibadah-ibadah baik yang wajib maupun sunah sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Nabi kemudian dijelaskan oleh Ulama.

Seperti yang sudah kami sampaikan pada posting yang telah lalu di awal pembahasan wudhu, bahwa air bekas wudhu diibaratkan air comberan bahkan baunya lebih busuk menurut Ulama ahli kasyaf karena dengan berwudhu dosa-dosa manusia terbuang bersama air bekas wudhu.

Ketika seseorang marah, maka Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam menyuruh kita wudhu, ini mengisyaratkan bahwa tubuh manusia memang mudah terpengaruh oleh perbuatan dosa yang ditunggangi oleh setan.

Bahkan ketika hendak tidurpun kita disunahkan berwudhu apalagi ketika kita hendak sholat, maka syariat memberlakukan hukum wajib berwudhu sebagai syarat syahnya sholat, alasan logisnya seperti yang sudah dijelaskan di atas, sedangkan dalilnya adalah perintah Allah dalam surat Al Maidah ayat enam.

Kita sholat hakikatnya menyembah dan menghadap Allah yang Maha Suci, maka harus suci pula jasmani kita jika ruhani kita belum bisa. Untuk mensucikan jasmani, diatur dalam ilmu fiqih yang menjelaskan tatacara wudhu atau mandi yang benar agar ibadah kita bernilai di sisi Allah, sedangkan urusan ruhaniah ilmu tashowuflah bagiannya.

Kemudian, diharamkannya seseorang melaksanakan sholat, karena berhadats ini sifatnya umum artinya semua sholat yang hukumnya wajib maupun sunah tidak boleh dikerjakan oleh seseorang dalam keadaan berhadats (tidak punya wudhu).

Adapun bagi mereka yang terus menerus berhadats dalam istilah fiqih disebut daimul hadats dan bagi wanita yang istihadhoh yakni mereka yang masih mengeluarkan darah haid dan nifas melebihi batas normal, maka agama memberikan ruhshoh yakni keringanan dengan cara berwudhu yang diatur dalam fiqih, penjelasannya ada pada syarat-syarat wudhu point ke lima bagian paling bawah atau klik disini.

Selain bagi mereka yang terus menerus berhadats, agama juga memberi ruhshoh bagi mereka yang tidak bisa mendapatkan alat bersuci yaitu air dan debu, maka disyariatkan bagi mereka untuk melaksanakan sholat lihurmatil waqti seperti orang dalam penerbangan pesawat, penjelasan lengkapnya ada pada bagian akhir posting kami di sini.

Selain sholat yang lima waktu dan sholat sunat lainnya, khutbah jum’at juga harus dilakukan atau didengarkan oleh orang yang dalam keadaan tidak batal wudhunya karena khutbah jum’at termasuk rukun dalam sholat yakni sesuatu yang tidak boleh ditinggalkan di dalam melaksanakan sholat jum’at dan hukumnya wajib/fardhu.

Maka jangan ngobrol yang membatalkan sholat atau tidur yang membatalkan wudhu atau melakukan apapun selain mendengarkan khotib berbicara di mimbar karena khutbah jum’at termasuk kedalam rangkaian sholat.

Sedangkan untuk khutbah sholat ied tidak diwajibkan suci dari hadats di dalam pelaksanaannya, akan tetapi makruh hukumnya bagi seorang khotib atau yang mendengarkan khutbah sholat ied tanpa wudhu.

Diharamkan Thowaf Bagi Orang yang Berhadats.

Seperti diharamkannya sholat bagi orang yang berhadats pada penjelasan nomor satu, diharamkannya orang yang berhadats melakukan thowafpun sifatnya umum, artinya baik yang sunah maupun yang wajib tidak boleh dikerjakan kecuali dalam keadaan sudah berwudhu yakni tidak berhadats.

Sedangkan cara untuk menghindari dari batalnya wudhu ketika thowaf haji maupun umroh atau thowaf yang hukumnya sunah karena bersentuhan kulit dengan lawan jenis, maka sebagaimana guru-guru kita telah menjelaskan dan sudah umum diketahui yaitu dengan cara taqlid yakni mengikuti fiqih madzhab Maliki ketika berwudhu, karena dalam madzhab Maliki tidak batal wudhunya seseorang meski bersentuhan kulit dengan lawan jenis.

Adapun dalil diwajibkannya wudhu ketika seseorang hendak thowaf adalah hadits Nabi yang menyebutkan bahwa thowaf itu sederajat dengan sholat, yang artinya syarat-syarat yang harus dipenuhi itu sama dengan sholat yaitu suci dari hadats.

Diharamkan Sujud Bagi Orang yang Berhadats.

Yang dimaksud sujud di sini ada dua, yaitu sujud tilawah dan sujud syukur, maka diharamkan bagi seseorang yang berhadats melakukan sujud tilawah dan sujud syukur, bukan sujud di dalam sholat seperti sujud didalam rukun sholat atau sujud syahwi, karena sujud yang rukun dan sujud syahwi ini adanya pada sholat dan sudah dibahas pada point ke satu.

Sujud tilawah adalah sujud yang disunahkan setelah seseorang mendengar atau membaca ayat sajdah dalam Al Qur-an dan sujud tilawah ini bisa dilakukan dalam dua keadaan yaitu pada saat sedang sholat dan di luar sholat.

Pada ayat sajdah biasanya diberi tanda khusus di ujung ayatnya seperti tulisan السّجده atau tanda seperti bentuk kubah. Adapun ayat sajdah itu ada lima belas ayat di dalam Al Qur-an diantaranya yaitu :

  1. Surat Al A’rof ayat 206.
  2. Arro’du ayat 15.
  3. An Nahl ayat 50.
  4. Al Isro ayat 109.
  5. Maryam ayat 58.
  6. Al Hajj ayat 18.
  7. Al Hajj ayat 77.
  8. Al Furqon ayat 60.
  9. An Naml ayat 26.
  10. As Sajdah ayat 15.
  11. Shod ayat 24.
  12. Fushilat ayat 38.
  13. An Najm ayat 62.
  14. Al Insyiqoq ayat 21.
  15. Al A’laq ayat 19.

Lalu bagaimana bacaan sujudnya? Bacaan sujud tilawah bisa dilakukan seperti bacaan sujud dalam sholat, namun bila dilakulan dalam sholat, setelah sujud tidak boleh mengucap salam, tapi kembali berdiri kemudian melanjutkan bacaan ayat dan melanjutkan gerakan sholat.


Jadi, rukun dalam mengerjakan sujud tilawah itu adalah :

  1. Niat bersamaan dengan takbirotul ihrom.
  2. Takbirotul ihrom (tidak boleh mengangkat tangan jika dalam sholat).
  3. Sujud satukali.
  4. Tuma’ninah dalam sujud.
  5. Duduk.
  6. Mengucap salam (jangan dilakukan ketika sholat).
  7. Tertib (kembali berdiri jika dalam sholat).

Adapun tempat niat itu di hati bisa dengan bacaan yang bebas artinya tidak harus menggunakan bahasa Arab seperti, “Niat saya sujud tilawah karena Allah Ta’ala, Allahu akbar.”

Sedangkan sujud syukur ini dilakukan disaat seseorang mendapat ni’mat yang tidak diduga-duga seperti dapat bonus gaji dari bos atau tiba-tiba ada yang ngasih kendaraan dan sebagainya atau terhindar dari musibah dan hukumnya sunah.

Kemudian, seperti halnya syarat-syarat dalam sholat, sujud syukurpun harus suci dari hadats termasuk menutup aurat dan menghadap qiblat, maka haram ketika seseorang melakukan sujud syukur seperti sujud syukur di atas pentas atau pada lapangan hijau tanpa memperhatikan syarat dan rukun-rukunnya seperti :

  1. Niat bersamaan dengan takbirotul ihrom.
  2. Takbirotul ihrom.
  3. Sujud satukalu sambil membaca “subhana robbi al a’la wabihamdihi.” 3X.
  4. Tuma’ninah ketika sujud.
  5. Duduk.
  6. Mengucap salam.
  7. Tertib.

Diharamkan Memegang dan Membawa Al Qur-an Bagi Orang yang Berhadats.

Seperti yang sudah kami sampaikan pada posting kami yang lain bahwa Al Qur-an itu kalam Allah yang qodim, artinya firman Allah yang berupa mushaf Qur-an adalah sebagai madlul (yang menunjukan) adanya sifat kalam pada Dzat Allah yang dahulu dan tetap ada sebagaimana telah dijelaskan oleh syekh Nawawi Al Bantani di dalam kitab Qotrul Ghoits.

Al Qur-an adalah kalam Allah yang mulia, maka kita sebagai hamba-Nya harus memuliakan kalam-Nya dengan tidak asal pegang atau membawanya tanpa adab, maka diwajibkan suci dari hadats ketika kita memegang Al Qur-an.

Di dalam surat Al Waqi’ah Allah berfirman, bahwa tidak boleh memegang Al Qur-an atas seseorang yang berhadats, maka dengan qiyas membawanya pun diharamkan, meski tak disebutkan "membawa" di dalam ayat tersebut oleh Allah Ta’ala karena membawa sudah pasti dipegang.

Diharamkan Menulis Mushaf Al Qur-an Bagi Orang yang Berhadats.

Kemudian diharamkan juga atas orang yang berhadats menulis mushaf Al Qur-an pada papan tulis dengan niat untuk dibaca. Mushaf Qur-an ini adalah ayat-ayat atau kalimat yang ada pada Al Qur-an baik secara utuh maupun hanya berupa penggalan ayat.

Diharamkannya menulis dan membawa mushaf Qur-an yaitu terletak pada niat ketika seseorang memulai tulisannya jika sekedar untuk dijadikan untuk mengambil barokah pada tulisan tersebut, maka tidak haram ketika dipegang dan dibawa-bawa seperti jimat atau wafak.

Berbica soal jimat atau wafak ini menuai perbedaan pendapat karena ada yang membolehkan ada juga yang mengharamkan. Lagi-lagi niatlah yang menjadi kunci utama boleh tidaknya seseorang menggunakan wafak untuk mengambil barokah dari ayat-ayat Al Qur-an karena bila itikadnya salah, maka menjadi perbuatan syirik.

Jadi, menulis mushaf Al Qur-an pada kertas atau papan tulis ini diharamkan bagi orang yang berhadats dan dengan niat untuk dibaca atau dilafalkan, berbeda ketika niat orang tersebut hanya sebagai hiasan seperti kaligrafi atau sekedar mengambil barokah seperti jimat atau wafak, maka tidak haram dibawa-bawa dalam keadaan berhadats.

Kemudian disebutkan juga oleh Mu’alif bahwa jika ada seseorang disuruh dengan sukarela menulis mushaf Qur-an, maka yang menentukan niat adalah orang yang disuruh tersebut, bukan orang yang menyuruhnya.

Berbeda jika ada orang yang disuruh menulis mushaf Qur-an tapi dibayar, maka yang menentukan niat adalah orang yang membayarnya, apakah untuk sekedar dipasang di tembok sebagai hiasan, apakah untuk dijadikan wafak ataukah untuk dibaca.

Kemudian, diharamkannya orang yang berhadats membawa Al Qur-an ini tidak mutlak karena dalam keadaan tertentu membawa Al Qur-an ketika berhadats ini tidak diharamkan seperti membawa Al Qur-an bersamaan dengan barang-barang yang lain dengan catatan tidak menyengaja atau tidak diniatkan membawa Al Qur-an.

Jadi, haram atau tidaknya seseorang yang berhadats membawa-bawa Al Qur-an itu tergantung niatnya sebagaimana hadits Rosulullah sholallahu ‘alaihi wasallam pada muqodimah kitab Shohih Bukhori yang menyebutkan, bahwa setiap perbuatan itu adalah dengan niat, maksudnya setiap pekerjaan seseorang itu tergantung niatnya dan apa yang di dapatkan oleh seseorang itu adalah tergantung niat.

Penjelasan lengkap tentang hadits ke 1. Shohih Bukhori ini bisa dilihat pada posting kami yang kami beri Label Hadits atau Shohih Bukhori, atau bisa dilihat pada menu yang kami letakan pada header blog.

Diharamkan Memegang Lembaran Al Qur-an Bagi Orang yang Berhadats.

Suci dari hadats ketika memegang Al Qur-an itu bukanlah hal yang berlebihan karena disamping memuliakan kalam Allah, juga banyak Ulama yang mewajibkan wudhu dulu sebelum memegang Al Qur-an karena mengagungkan Allah termasuk sifat-sifat-Nya dalam hal ini yaitu kalam Allah adalah termasuk ibadah yang paling utama.

Jika ada yang berpendapat bahwa jika hanya sekedar memegang lembaran Al Qur-an itu tidak perlu wudhu, maka orang yang wudhu itu tetap lebih utama jika misalnya kelak di akhirat Allah meminta pertanggung jawaban atas perbuatan-perbuatan kita sehubungan dengan ibadah termasuk hubungannya dengan Al Qur-an.

Di dalam madzhab Syafi’i ihtiyat itu lebih diperhatikan yakni sangat berhati-hati dalam mengambil hukum karena seperti yang sudah kami sampaikan, bahwa apa yang difatwakan oleh seorang mujtahid sesungguhnya kelak akan diminta pertanggung jawabannya di hadapan Allah.

Diharamkannya memegang Al Qur-an bagi orang yang berhadats juga berlaku pada tempat dimana Al Qur-an tersebut diletakan seperti memindahkan Al Qur-an dengan memegang tasnya walau pada bagian talinya atau lekar tempat diletakannya Al Qur-an, kecuali jika di dalam kantong tersebut atau di atas lekar tersebut tidak ada Al Qur-an, maka tidak diharamkan.

Dan tidak diharamkan membolak balik lembaran Al Qur-an dengan bantuan alat seperti kayu selama yang diangkat dan dibolak-balik itu lembarannya, bukan kitabnya. Perlu difahami bahwa yang diwajibkan suci dari hadats di sini adalah ketika seseorang memegang bukan membaca Al Qur-an, karena melafalkan ayat sama halnya dengan mentahfidz ayat-ayat Al Qur-an yaitu tidak perlu menyentuh Al Qur-an.

Tidak diharamkannya membolak-balik lembaran Al Qur-an dengan alat bantu bagi orang yang berhadats ini jika lembarannya itu tidak terpisah dengan yang lainnya seperti lembaran kitab kuning yang lembarannya tidak distaples atau dilem.

Dan tidak diharamkan membawa atau memegang Al Qur-an bagi orang yang berhadats dengan syarat yang dipeganggnya itu kitab tafsir atau majmu’ syarif, meskipun di dalamnya ada mushaf Al Qur-an tapi lebih banyak tafsirnya atau bacaan-bacaan lain selain ayat Qur-an meskipun ragu lebih banyak ayat Qur-annya apa bacaan-bacaan yang lain?

Kemudian, tidak diharamkan bagi anak kecil yang sudah tamyiz artinya sudah bisa makan, minum, pakai baju dan cebok sendiri dan berhadats meski seandainya dalam keadaan junub memegang atau membawa Al Qur-an dengan hajat membawa ke tempat mengaji untuk belajar kepada gurunya kemudian gurunya mengajarkannya membaca Al Qur-an.

Jadi, ketika orangtua mendidik anaknya belajar membaca Al Qur-an, maka agama tidak membebankan kepada si anak untuk bersuci dari hadats karena pada anak kecil biasanya agak susah dibilangin apalagi dipaksa, maka agama memberi kelonggaran pada anak kecil.

Tidak diharamkannya bagi anak kecil memegang Al Qur-an tanpa wudhu disni bukan berarti kita sebagai orangtua tidak mengajarkan anak kita wudhu kalau mau baca Qur-an, akan tetapi maksudnya di sini adalah jangan memaksa anak jika terlihat sedang ngambek karena bisa berdampak tidak mau wudhu juga tidak mau pergi mengaji.

Yang menjadi tujuan utamanya dalam mendidik anak belajar Al Qur-an yaitu supaya ada rasa suka bukan terpaksa, sehingga agama lebih menganjurkan kepada orangtua untuk mengambil hal yang lebih maslahat daripada hal yang mudhorot dalam menanamkan rasa suka terhadap belajar membaca Al Qur-an pada anak.

Adab Terhadap Al Qur-an.

Kemudian haram hukumnya bagi orangtua yang membiarkan anaknya yang belum tamyiz merobek-robek atau mengacak-acak Al Qur-an karena dianggap lalai di dalam memuliakan Al Qur-an, jadi yang diharamkan bukanlah si bocah tapi orangtuanya.

Selain orangtua bisa juga wali atau guru atau orang yang diberi keperayaan untuk menjaga anak kecil yang diharamkan jika membiarkan anak yang belum tamyiz tersebut memegang atau mengacak-acak Al Qur-an karena pada anak yang belum tamyiz dia belum mengerti apa itu Al Qur-an sehingga jika dibiarkan bisa saja diinjak-injak, dibuang atau dirobek meskipun cuma penggalan ayat.

Kemudian, haram hukumnya bagi seseorang yang menuliskan ayat Al Qur-an dengan menggunakan bahasa non Arab karena menurut Mu’alif ayat Al Qur-an jika dialih aksarakan, maka akan berbeda baik makna, makhrojul huruf maupun harokatnya. 

Ini yang menjadi kendala ketika seseorang ingin menyampaikan ayat Al Qur-an tapi yang menerima sama sekali tidak bisa membaca ayat-ayat Al Qur-an menggunakan huruf Arab, termasuk kami yang tak luput dari kekhilafan dalam menyampaikan ayat Al Qur-an menggunakan aksara latin dengan tujuan agar bisa dibaca dan dimengerti oleh orang yang tidak faham aksara Arab pada artikel blog kami. Semoga Allah mengampuni kami dan kita semua dari kekhilafan dan kebodohan. Amin...

Selanjutnya mualif berkata bahwa diharamkan bagi orang yang meletakan dirham/uang atau sejenisnya pada lembaran Al Qur-an atau pada lembaran kitab yang isinya menjelaskan tentang seputar ilmu syara’.

Jadi, haram hukumnya meletakan uang pada lembaran Al Qur-an dengan maksud apapun seperti misalnya sengaja disembunyikan agar tidak ditemukan oleh oranglain atau agar tidak diambil oleh tuyul, baik yang berkepala gundul maupun tuyul yang memiliki rambut kepala.

Berbeda pendapat dengan Ibnu Hajar Al Haitami yakni gurunya syekh zainudin Al Malibari. Menurut Ibnu Hajar, meletakan uang pada lembaran kitab selain Al Qur-an itu tidak diharamkan. Meski begitu tetap saja meskipun didalam kitab kuning itu berisi bahasan tentang ilmu syara, akan tetapi di dalamnya ada ayat Al Qur-an yang ditulis sebagai rujukan hukum, itulah alasan kenapa syekh Zainudin mengharamkan meletakan uang pada lembaran kitab.

Pada keduanya tidak disalahkan, baik Ibnu Hajar maupun syekh Zainudin keduanya memiliki dalil yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena keduanya adalah orang ‘alim yang artinya orang yang faham betul dalam ilmu agama.

Sebagaimana telah berkata syekh Jalaludin As Suyuti di dalam kitab Asbah wan Nadzhoir, bahwa jika seseorang ingin terjun ke dalam lautan ilmu yakni Al Qur-an dan Hadits, maka dia harus memiliki 14 perangkat disiplin ilmu yang dikuasai. 

Seorang pengarang kitab seperti syekh Zainudin dan Ibnu Hajar sudah pasti menguasai itu semua, sehingga keberkahan ilmu mereka masih terasa sampai sekarang, sebagai buktinya adalah kitab-kitab karangan mereka masih dibaca disemua pondok pesantren baik yang modern maupun yang salafi, bukan salafi yang diistilahkan oleh orang akhir jaman ini yang mengidentikan Wahabi atau syi’ah tapi maksudnya adalah pondok pesantren yang tradisional.

Kemudian, haram merobek-robek mushaf Qur-an tanpa adanya tujuan yang maslahat, seperti orang yang merobek-robek dengan tujuan ingin viral di medsos, maka yang seperti ini termasuk menistakan kalam Allah.

Berbeda dengan orang yang seumpamanya menemukan mushaf Qur-an kemudian digunting kecil-kecil agar ayatnya terpisah huruf demi huruf agar tidak terinjak oleh orang lain, maka yang seperti ini tidak diharamkan. 

Karena terpisahnya huruf dan lafadz itu bukanlah kalam, sebagaimana telah disebutkan dalam kitab Jurumiyah, bahwa kalam adalah lafadz yang tersusun-susun yang berfaedah dan dimengerti dengan disengaja (tidak mengigau) atau bisa juga diartikan dengan bahasa Arab.

Kemudian, tidak haram seumpama ada orang yang meminum oleh leburan Al Qur-an. Maksudnya jika huruf-huruf yang ditulis pada kertas kemudian luntur karena disiram atau larut bersama air, maka tidak diharamkan meminum air tersebut.

Tidak ada larangan bagi orang yang mengambil keberkahan dari kalam-kalam Allah, selama yang dilakukannya itu tidak merendahkan kedudukan Al Qur-an yang begitu mulia dan tak bersebrangan dengan syari’at dan aqidah.

Berbeda dengan orang yang menelan ayat-ayat Al Qur-an yang dia tulis di kertas tanpa melarutkan huruf-huruf yang berupa ayat itu atau merobek lembaran Al Qur-an kemudian langsung diminum, maka yang demikian itu adalah haram dilakukan.

Ajaran dan praktek seperti ini biasanya terjadi pada orang-orang ahli hikmah yang kami sendiri tidak faham yang dimaksud ahli hikmah itu apa, namun guru kami pangersa abah K.H. Ahmad Suganda oleh murid-muridnya dipanggil abah Cikangkung atau syekh Karawang Gana, beliau berkata ilmu hikmah pada dasarnya ingin mengenal Allah seperti halnya thoriqoh yang mengajarkan metode atau cara agar bisa mengenal Allah.

Akan tetapi pada prakteknya ilmu hikmah itu bisa saja menyimpang dari jalur tauhid jika mengenyampingkan tauhid dan terlalu asik dengan karomah yang sebenarnya istidroj atau perangkap setan. 

Untuk kami pribadi cukup mengerjakan apa yang dicontohkan oleh Nabi melalui bimbingan guru kami dengan berpegang teguh pada aqidah, tanpa ambil pusing menela’ah apa itu ilmu hikmah karena bukan kapasitas kami sok tahu dengan ngasih tahu yang ujung-ujungnya ngawur.

Biarlah mereka-mereka ahli hikmah yang lebih berhaq menjelaskan karena kami bukanlah ahli tapi amatiran yang masih dalam proses belajar dan diajari bukan mengajari.

Lanjut!  Haram bagi seseorang yang menjulurkan kaki ke arah mushaf Qur-an, kecuali jika Al Qur-annya ada di atas meja atau lekar tempat menaruh Al Qur-an dan kaki kita berada di bawahnya sambil selonjoran, maka tidak diharamkan.

Jangankan selonjoran menghadap Al Qur-an, membaca Al Qur-an dengan wajah di atas mushaf juga termasuk su’ul adab yakni haram dilakukan. Sebisa mungkin wajah kita tidak berada di atas Al Qur-an ketika membacanya.

Kemudian, disunahkan bagi seseorang agar berdiri ketika melihat mushaf Al Qur-an seperti kita menghormati ketika ada seorang ‘alim berjalan di depan kita, maka terhadap Al Qur-an harus lebih dari itu, termasuk mencium Al Qur-an adalah sunah walau ada yang mengatakan bid’ah di akhir zaman ini, maka jangan dengarkan mereka.

Sadar ataupun tidak sadar, kita umat akhir zaman ini perlahan-lahan digiring untuk menjauhi di dalam mengagungkan Rosulullah bahkan kepada Allah pun kita digiring untuk menjauh dengan dalih kembali pada Al Qur-an dan Hadits padahal batil, yang nyatanya tidak mau dekat dengan Ulama, pengennya nonton yutube saja lebih praktis.

Dalam kehidupan duniawi saja kita butuh yang namanya birokrasi, misalnya ketika mengajukan proposal untuk pembangunan jalan desa, maka tidak ujug-ujug langsung minta ke mentri apalagi langsung ke president. Begitupula hubungannya dengan Allah, maka harus berawal dari belajar melalui Ulama dulu baru kita tanya soal isi kandungan Al Qur-an atau Hadits, bukan asal comot, asal mengutip kemudian bagikan.

Terakhir, dimakruhkan bagi seseorang membakar mushaf Al Qur-an kecuali karena tujuan seumpama menjaga. Artinya kita boleh membakar Al Qur-an jika tujuannya untuk menjaga agar tidak tercecernya lembaran-lembaran surat pada Al Qur-an yang sudah usang, selain daripada tujuan tadi maka hukumnya makruh, tapi lebih utama dibasuh oleh air agar tintanya hilang daripada dibakar.

Penutup

Demikian yang dapat kami sampaikan pada posting kami kali ini, mohon maaf jika ada kekurangan dan kesalahan dalam penyampaian maupun tulisan. Semoga bermanfaat.


Wallahu a'lam bishowab.



Sumber :

  • Kitab Fathul Mu'in.
Open Comments

Posting Komentar untuk "Hal-hal yang Diharamkan Bagi Orang yang Berhadats dan Adab Terhadap Al Qur-an"