Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
4 Hal Penyebab Batalnya Wudhu Dalam Madzhab Syafi'i dan Perbedaan Pendapat Dengan Madzhab Lain

4 Hal Penyebab Batalnya Wudhu Dalam Madzhab Syafi'i dan Perbedaan Pendapat Dengan Madzhab Lain

Daftar Isi Artikel: Tampilkan

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Di dalam bab wudhu telah kami bahas diantaranya yaitu definisi wudhu, syarat-syarat wudhu, fardhu wudhu dan sunah wudu pada posting yang telah lalu, kemudian yang terakhir dalam bab wudhu adalah pembahasan tentang hal-hal atau sebab-sebab batalnya wudhu yang akan kami bahas pada posting kami kali ini.

Untuk penjelasan lengkapnya seputar wudhu pada posting-posting kami sebelumnya silahkan buka label wudhu pada menu blog kami.


Pinterest

Penyebab Batalnya Wudhu

Dan adapun hal-hal yang membatalkan wudhu atau sebab-sebab batalnya wudhu yaitu ada empat diantaranya sebagai berikut :

  1. Merasa yakin bahwa ada sesuatu selain air mani yang keluar dari kemaluan bagian depan dan kemaluan bagian belakang (kubul dan dubur).
  2. Hilang akal.
  3. Memegang kemaluan bagian depan dan belakang (kubul dan dubur).
  4. Bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang dua-duanya sudah besar.

Merasa Yakin Adanya Sesuatu yang Keluar Dari Dua Lubang Kemaluan.

Sebagaimana sudah disebutkan diatas, sebab-sebab yang membatalkan wudhu yang pertama yaitu Merasa yakin bahwa ada sesuatu selain air mani yang keluar dari kemaluan bagian depan dan kemaluan bagian belakang (kubul dan dubur).

Sesuatu yang keluar dari dua lubang kemaluan kubul dan dubur memiliki pengertian yang umum yang berarti sesuatu yang keluar itu bisa berupa apa saja seperti kentut, buang air besar atau buang air kecil kecuali air mani, namun tidak berlaku jika seseorang itu ragu akan adanya sesuatu yang keluar dari dua lubang tersebut.

Dari Abu Hurairoh, ia berkata bahwa Rosulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tak akan diterima sholat seseorang yang berhadats hingga dia berwudhu.” Lalu sorang laki-laki dari Hadromaut bertanya kepada Abu Hurairoh, “Apa itu hadats?” Dijawab oleh Abu Hurairoh, “Kentut, baik dengan suara ataupun tidak.” (H.R. Bukhori).

Dari keterangan Hadits di atas, Rosulullah sholallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan kepada umatnya agar tidak berhadats ketika sholat, kemudian muncul pertanyaan, “Hadats itu apa sih?” yaitu batalnya wudhu dengan sebab-sebab tertentu dan dalam hal ini Abu Hurairoh menyebut kentut.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian merasa mendapati sesuatu di perutnya (ususnya), ia lantas ragu-ragu, apakah keluar sesuatu ataukah tidak, hendaklah ia tidak keluar dari masjid (untuk mengulangi wudhu) sampai ia mendengar suara atau mencium bau.” (H.R. Muslim).

Kemudian sesuatu yang keluar dari lubang kubul dan dubur itu bisa yang sifatnya basah atau kering, sesuatu yang lumrah maupun yang jarang terjadi seperti keluarnya darah dari lubang anus atau keluarnya sesuatu seperti cacing yang keluar dari lubang anus meski hanya sebatas kepalanya saja kemudian masuk lagi.

Keluarnya sesuatu dari kubul dan dubur ini bisa menjadi sebab batalnya wudhu orang yang masih hidup, tapi tidak batal wudhunya mayit yang diwudhukan dan termasuk batalnya wudhu seseorang yaitu keluarnya wasir pada lubang anus, baik dari dalam keluar maupun kembali ke dalam setelah keluar.

Adapun uraian penjelasan keluarnya mani itu tidak membatalkan wudhu bukan dengan jalan bersetubuh tapi karena sesuatu selain jima’ yang membuat kemaluannya itu mengeluarkan air mani, seperti melihat perempuan yang cantik yang membuat timbulnya syahwat sehingga keluarlah air mani dari kemaluannya.

Kemudian, sebab-sebab batalnya wudhu yang dikarenakan keluarnya wasir pada lubang anus adalah perkara yang diperselisihkan oleh Ulama, karena menurut fatwa Syekh Kamaludin Arrodad, bahwa keluarnya wasir itu tidak membatalkan wudhu kecuali jika disertai dengan keluarnya darah.

Kemudian, Imam Malik juga berpendapat bahwa tidak batal wudhu dengan sesuatu yang jarang terjadi yakni yang keluar dari dua lubang kemaluan akan sesuatu yang jarang terjadi seperti keluarnya batu atau darah dan lain-lain, tapi dalam madzhab Syafi’i apapun itu selagi keluarnya dari qubul dan dubur, maka batal wudhunya.


Hilangnya Akal atau Kesadaran.

Adapun yang kedua dari hal-hal yang membatalkan wudhu yang empat yaitu hilangnya akal atau hilangnya kesadaran dengan sebab mabuk atau gila atau ayan atau tidur, dalilnya karena ada hadits shohih di dalam kitab Sunan Abu Daud atau Imam Ahmad bin hambal dan juga Imam Ibnu Majah, yang menyebutkan bahwa Nabi bersabda, maka siapa orang yang tidur maka hendaklah ia wajib berwudhu.

Diambilnya hukum bahwa orang mabuk, gila dan orang ayan itu termasuk hal-hal yang membatalkan wudhu yaitu dengan qiyas yakni dengan menyamakan hukum karena adanya kesamaan yakni dengan menyamakan hukum orang yang mabuk, gila dan orang ayan yang tidak dijelaskan oleh Rosulullah dengan hukum orang yang tidur yang perintahnya jelas dan tertulis karena adanya kesamaan yaitu sama-sama hilang kesadaran.

Keluarnya hukum dengan kata-kata hilangnya kesadaran karena ngantuk dan permulaan timbulnya mabuk, maka pada keduanya tidak membatalkan wudhu karena ngantuk dan tidur itu berbeda begitupun orang yang mabuk dan orang yang belum mabuk karena miras.

Menurut Mu’alif bagian dari tanda-tanda orang yang ngantuk itu adalah masih terdengarnya suara orang yang ngobrol di dekat kita meskipun tidak bisa mengerti apa yang diomongkan dan ngantuk tidak membatalkan wudhu meskipun ragu apakah ngantuk atau tidur?

Kemudian juga disebutkan bahwa tidak batal wudhunya orang yang kehilangan kesadaran yang disebabkan tidur dengan catatan dalam posisi duduk dengan kedua bokongnya tetap menempel di lantai meskipun ia sambil bersandar.

Adapun dalil tidur sambil duduk itu tidak membatalkan wudhu yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sayidina Anas bin Malik yang mengatakan bahwa para sahabat di jaman Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam ketika selesai sholat Magrib tidak beranjak dari masjid tapi duduk menunggu waktu Isya sampai-sampai kepala mereka terangguk-angguk karena ngantuk kemudian tak mendengar suara adzan Isya sampai dikumandangkannya iqomah barulah mereka tersadar lalu sholat berjama’ah dengan Nabi.

Tidak batalnya wudhu orang yang duduk itu ada beberapa catatan yang harus difahami yaitu duduk dengan tidak terangkat salah-satu bokongnya, masih bisa mendengar orang yang berbicara di dekatnya, yakin bahwa dia tidak bermimpi meskipun ada keragu-raguan atau ragu apakah bergesernya bokong itu sebelum tidur apa sesudah tidur?

Lain halnya orang yang mendengkur atau yakin bermimpi serta ragu-ragu apakah dia tidur apa tidak, maka batal wudhunya karena mimpi yang menguatkan keragu-raguan pada seseorang yang ragu apakah tidur apakah tidak? Maka jawabannya adalah tidur.


Menyentuh Kemaluan Bagian Depan dan Belakang.

Adapun yang ketiga dari hal-hal yang membatalkan wudhu yang empat yaitu memegang kemaluan bagian depan dan bagian belakang manusia yakni kubul dan dubur. Batalnya wudhu orang yang memegang kemaluan di sini maksudnya adalah kemaluannya manusia bukan binatang.

Kemudian batal wudhunya seseorang yang memegang kubul dan dubur ini sifatnya umum yakni baik disengaja atau tidak sengaja, baik punya sendiri maupun punya oranglain bahkan pada mayit sekalipun atau nemu di jalan kemudian dipegang, maka batal wudhunya sekalipun kemaluan anak yang belum baligh.

Beda halnya dengan orang yang dipegang kemaluannya oleh oranglain yang sesama jenis atau nemu daging kemaluan bekas orang yang dikhitan dalam bahasa lain kulup baik punya perempuan maupun laki-laki kemudian dipegang, maka tidak batal wudhunya.

Kemudian jika seseorang memegang buah dzakar di bawah penis dan bulu-bulunya atau memegang bagian pantat yang bukan bagian pinggiran lubangnya (wasir) atau memegang bagian daging vagina yang seperti jawer ayam yang bukan bibir vagina, maka tidak membatalkan wudhu dalam madzhab Syafi’i.


Perbedaan Pendapat Ulama Madzhab Terkait Batalnya Wudhu.

Telah disebutkan diatas bahwa bagian-bagian kubul dan dubur tertentu jika disentuh maka batal wudhunya dalam madzhab syafi’i, namun ada perbedaan pendapat dengan madzhab lain tentang bagian mana saja yang ada pada kemaluan depan dan belakang yang dapat membatalkan wudhu jika dipegang.

Adanya perselisihan pendapat Ulama madzhab tentang hal-hal yang membatalkan wudhu, maka kemudian di dalam madzhab syafi’i keluarlah hukum berdasarkan kaidah hukum Imam Syafi’i yang mensunahkan mengerjakan apa yang diperselisihkan meski dalam madzhab Syafi’i hukumnya bukan wajib.

Hukum sunah berwudhu di sini bukan berarti sunah-sunah di dalam pelaksanaan wudhu, akan tetapi disunahkannya mengerjakan wudhu karena adanya perbedaan pendapat bahwa wudhu kita batal menurut madzhab lain dan ini berlaku dalam madzhab Syafi’i dan disunahkannya wudhu bukan karena adanya perbedaan pendapat semata.

Diambilnya hukum sunah di dalam madzhab Syafi’i yaitu bentuk kehati-hatian Imam Syafi’i di dalam mengambil hukum diantaranya adalah sunah mengerjakan apa yang diperselisihkan oleh madzhab lain artinya ketika pendapat Imam Syafi’i bersebrangan dengan Ulama lain, maka bukan berarti Imam Syafi’i meninggalkannya akan tetapi status hukumnya saja yang berbeda yaitu menjadi sunah bukan wajib.

Seperti disunahkan berwudhu karena memegang bulu kemaluan, dalam madzhab Syafi’i sebenarnya tidak membatalkan wudhu karena bulu-bulu pada kemaluan dianggap bukanlah penis atau vagina, namun dalam madzhab Maliki dikatakan termasuk kemaluan, sehingga di dalam madzhab Syafi’i disunahkan mengulang wudhunya meski sebenarnya tidak batal.

Kemudian disunahkan juga berwudhu karena memegang bagian pantat yang tidak terhalang oleh kain meski dalam madzhab syafi’i tidak membatalkan wudhu, kemudian memegang buah dzakar di bawah penis, sekalipun kepunyaannya binatang karena menurut Imam Malik itu termasuk hal yang membatalkan wudhu.

Kemudian disunahkan berwudhu karena memegang bulu-bulu yang tumbuh pada bagian batang penis atau vagina jika misalnya ada, atau memegang pangkal paha (selengkangan) atau memegang kemaluannya anak kecil, karena ada Ulama yang menganggap itu batal.

Kemudian disunahkan berwudhu karena memegang anak laki-laki yang beranjak baligh atau belia, karena menurut orang Arab anak laki-laki mereka ketika mau menginjak baligh parasnya mirip perempuan, sehingga dalam madzhab lain dianggap batal wudhunya jika memegang mereka, dan juga orang yang belang-belang putih kulitnya dan memegang atau menyentuh orang Yahudi, karena dalam madzhab lain apa yang disebutkan tadi adalah perkara yang membatalkan wudhu.

Dan disunahkan berwudhu seumpama habis bekam atau berpetik (pengobatan alternatif untuk membuang darah kotor dari tubuh) yang dianggap membatalkan wudhu dalam madzhab hanafi, atau memandang dengan syahwat sekalipun memandangnya kepada mahrom karena dalam madzhab Hambali yang demikian itu membatalkan wudhu, atau melafalkan dengan kata-kata maksiat seperti berbohong atau marah atau membawa mayit dengan memegangnya atau memotong kuku atau memotong kumis dan mencukur rambut kepalanya.

Dalam pelaksanaannya, mengerjakan sunah wudhu oleh pengikut madzhab syafi’i ini bukan hanya karena dianggap batal oleh madzhab lain, tapi menjadi kesunahan ketika sesudah melakukan sesuatu pekerjaan seperti mencukur rambut kepala, memotong kumis, memotong kuku, memegang mayit, atau ketika marah, dianjurkan berwudhu atau mandi meski bukan dalam rangka menghilangkan hadats (batal wudhu), artinya baik dalam keadaan sudah berwudhu ataupun belum berwudhu, para pengikut madzhab Syafi’i selalu melaksanakan sunah-sunah tersebut.

Dari rangkaian sunah mengerjakan ulang wudhu karena ikhtilaf Ulama dalam madzhab Syafi’i yang sudah dijelaskan di atas, ada hal yang patut dipuji dari kebijaksanaan Imam Syafi’i di dalam mengambil hukum yaitu tidak mengabaikan pendapat Ulama yang bersebrangan dengan pendapat beliau.

Seperti yang sudah kami sampaikan pada posting kami yang lain, bahwa apa yang difatwakan oleh Ulama sesungguhnya akan diminta pertanggung jawabannya kelak dihadapan Allah, oleh karena itu mereka para Mujtahid mutlak yang empat khususnya Imam Syafi’i tidak gegabah dalam mengambil hukum.

Tidak hanya di situ saja kebijakan Imam Syafi’i di dalam mensikapi permasalahan umat, beliau juga dengan tegas mengatakan bahwa madzhab beliau adalah Al Qur-an dan Hadits, maka jika seandainya beliau tidak sesuai atau keluar dari Al Qur’an dan Hadits beliau berkata, “Tinggalkanlah aku.”

Oleh sebagian golongan, kaul imam Syafi’i ini dijadikan dalil bahwa taqlid kepada Ulama madzhab di dalam fiqih itu tidak perlu, maka kembalilah kepada Al Qur-an dan Hadits. Padahal maksud dari perkataan Imam Syafi’i di atas adalah bahwa beliau tidak merasa dirinya orang yang paling benar bukan larangan untuk mengikuti Ulama mujtahid.

Adapun masalah taqlid atau mengikut fiqih kepada salah satu Imam yang empat adalah wajib ketika seseorang tidak mampu berijtihad tanpa mengambil metode atau kaidah hukum dari ke empat madzhab dan sepertinya tak akan ada yang bisa karena baik Al Qur-an maupun Hadits sudah ada Ulama yang menjelaskan tanpa harus repot-repot menggali ayat-ayat Al Qur-an atau sabda Nabi di dalam Hadits untuk tujuan hanya sekedar untuk mengambil hukum. Yang disuruh untuk kembali ke Al Qur-an dan Hadits oleh Nabi adalah Ulama dan untuk orang awam Nabi perintahkan untuk mengikuti Ulama sebagai pewaris Nabi.

Kembali pada bahasan batalnya wudhu karena memegang bagian kubul dan dubur. Tidak batalnya wudhu dalam madzhab Syafi’i jika melihat kemaluannya binatang, karena melihat kemaluan pada binatang itu idak menimbulkan syahwat.

Berbeda dengan melihat kemaluan pada manusia apalagi memegangnya, adapun yang membatalkan memegang kemaluan manusia itu membatalkan wudhu jika tanpa penghalang seperti kain karena ada perintah dari Nabi, Barangsiapa memegang kemaluan atau dzakar maka hendaklah ia berwudhu.

Adapun memegang adalah dengan menyentuh dengan bagian telapak tangan dan bawah jari bukan dengan punggungnya atau pinggirnya, jadi bila punggung jari jemari atau bagian pinggir tangan kita tidak sengaja menyentuh kemaluan kita, maka tidak membatalkan wudhu.


Bersentuhan Kulit Laki-laki dan Perempuan.

Adapun yang ke empat dari hal-hal yang membatalkan wudhu yaitu bersentuhan dua kulit laki-laki dan perempuan. Jadi, batalnya wudhu seseorang itu dikarenakan oleh bersentuhnya kulit laki-laki dan perempuan, baik dengan syahwat maupun dengan tanpa syahwat, baik disengaja maupun tidak sengaja, baik dengan orang yang masih hidup maupun dengan mayit.

Akan tetapi tidak batal wudhunya mayit karena disentuh oleh seseorang yang masih hidup dan berbeda jenis kelamin karena pada mayit tak mungkin adanya syahwat, tapi sebaliknya yang menyentuh mayitlah yang batal wudhunya.

Yang dimaksud kulit disini yaitu selain rambut dan gigi atau kuku. Jadi tidak batal wudunya orang yang rambutnya disentuh atau kulitnya digigit tanpa tersentuh bibir, atau kulitnya disentuh oleh kuku seperti misalnya dicakar tanpa bersentuhan kulit kemudian ditamvahkan oleh Ibnu Hajar Al Haitami bahwa tidak batal wudhunya seseorang jika bagian dalam matanya disentuh, seperti orang yang dicolok bola matanya.

Di dalam madzhab Syafi’i bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan adalah hal yang menyebabkan batalnya wudhu berdasarkan Al Qur-an surat Al Maidah ayat enam dan dipertegas oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) yakni putra dari sayidina Umar bin Khotob yang menjadi pintu gerbangnya ilmu fiqih yang artinya seluruh Ulama madzhab merujuk kepada beliau yang memfatwakan bahwa batalnya wudhu jika bersentuhan kulit dengan lawan jenis.

Adapun hadits yang menyebutkan bahwa Rosulullah sholallahu ‘alaihi wasallam pernah mencium isteri Beliau kemudian sholat tanpa berwudhu terlebih dahulu adalah hadits yang lemah (dho’if) andai kata dianggap shohih maka oleh Ulama Syafi’iyah yakni Imam Nawawi dimaknai dengan menggunakan penghalang ketika Nabi mencium istri beliau.

Disamping dhoif hadits ini adalah hadits mursal menurut Imam Tirmidzi dan Imam Bukhori. Hadits mursal yaitu hadits yang langsung menyebutkan Rosulullah tanpa menyebutkan nama perawi hadits, sehingga hadits ini dianggap tidak layak dijadikan hujah syar’iyah yakni tidak layak dijadikan sebagai dalil di dalam mengambil hukum menurut madzhab Syafi’i.

Kemudian, selain kulit dari dua orang yang berbeda jenis kelamin yang jadi penyebab batalnya wudhu bila bersentuhan, juga ada faktor lain yaitu kedua orang ini sama-sama sudah besar, maksud besar disini bukan baligh tapi sudah disyahwati oleh lawan jenisnya meski belum baligh, seperti sudah dianggap cantik atau manis dan menimbulkan decak syahwat bagi lawan jenisnya yang normal bukan pedofilia.

Kemudian, selain faktor syahwat hal yang menyebabkan batalnya wudhu, juga ada faktor perbedaan jenis kelamin dan persoalan mahrom dan bukan mahrom. Seperti misalnya pada kasus, bagaimana jika seorang laki-laki dalam keadaan sudah berwudhu kemudian menyentuh seorang nenek-nenek yang bukan mahrom?

Maka jawabannya adalah batal wudhunya, meski tanpa syahwat. Penjelasan tentang mahrom dan bukan mahrom ini ada di bagian akhir pembahasan sebab-sebab batalnya wudhu dan masih pada posting ini.

Kemudian, syarat dari penyebab batalnya wudhu karena bersentuhnya kulit laki-laki dan perempuan ini adalah harus benar-benar yakin menyentuh kulit, dan keyakinan itu tempatnya di hati. Jadi, tak ada satupun orang yang bisa membohongi dirinya sendiri apalagi membohongi Allah, jika misalnya ada orang yang tidak mau batal wudhunya dengan pura-pura merasa yakin.

Jika ada orang yang ragu-ragu apakah dia menyentuh rambut lawan jenisnya apa kulitnya? Maka wudunya orang tersebut tidak batal, atau ragu-ragu apakah yang disentuhnya itu masih kulit laki-laki apa kulit perempuan? Maka yang demikian ini juga tidak batal wudhunya, karena dalam agama dianjurkan untuk meninggalkan perkara yang ragu dan mengambil perkara yang yakin sebagaimana perintah Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam.

Ibnu Hajar Al Haitami di dalam mensyarahi kitab Al ‘Ubab berkata, jika seandainya ada orang yang adil mengatakan, bahwa “barusan engkau benar-benar telah menyentuh perempuan,” maka pendapatnya harus diambil yakni menerima pendapatnya bahwa kita batal wudhu. Kecuali orang yang memberitahukan tersebut adalah orang fasik, maka jangan didengar pendapatnya.

Ragu-ragu disini juga berlaku bagi orang yang tidur dengan tidak berubah posisi bokongnya yang tetap menempel pada lantai kemudian dia ragu, apakah dia tadi kentut apa tidak? Maka wajib menerima pendap dari orang yang adil tadi, jika dia bilang kentut maka batal wudunya.

Maka kesimpulannya adalah batalnya wudhu seseorang karena bersentuhnya kulit itu ada beberapa faktor diantaranya jika :

  1. Benar-benar kulit bukan rambut, gigi, kuku dan bagian dalam mata.
  2. Tanpa penghalang.
  3. Berbeda jenis kelamin.
  4. Sama-sama sudah gede yakni sudah disyahwati oleh lawan jenisnya.
  5. Adanya syahwat.
  6. Merasa yakin.
  7. Bukan mahrom.

Hukum Bersentuhan Kulit Dengan Orang yang Ada Hubungan Mahrom dan Bukan Mahrom Bagi yang Punya Wudhu.

Mahrom adalah orang yang diharamkan untuk dinikahi selama-lamanya, lalu apa bedanya dengan muhrim? Ini yang harus diluruskan karena muhrim itu adalah sebutan bagi mereka yang sedang ihrom melaksanakan ibadah haji.

Tidak batal wudhu seseorang dalam madzhab Syafi’i ketika kulitnya bersentuhan tanpa penghalang dengan lawan jenisnya yang ada hubungan mahrom yakni masih satu darah keturunan atau sepersusuan atau satu mertua.

Seperti seorang laki-laki yang dalam keadaan sudah berwudhu kemudian bersalaman dengan ibunya, maka tidak batal wudhunya dalam madzhab syafi’i karena dianggap tidak ada prasangka timbulnya syahwat.

Berbicara tentang mahrom, maka perlu diketahui siapa saja orang yang termasuk mahrom bagi kita, maka di dalam fikih diklasifikasikan kedalam tiga kelompok.


A. Mahrom dari sisi keturunan:

  1. Ibu dan bapak kita.
  2. Anak kita.
  3. Anak dari saudara kandungnya ibu bapak kita.
  4. Saudara kandung bapak kita.
  5. Saudara kandung ibu kita.
  6. Anak dari saudara laki-laki kita yakni keponakan kita.
  7. Anak dari saudari perempuan kita yakni keponakan kita.

B. Mahrom dari sisi sepersusuan:

  1. Suami maupun istrinya orang yang menyusui kita.
  2. Anak dari orang yang menyusui kita.
  3. Saudara kandung dari orang yang menyusui kita.
  4. Saudara kandung dari suaminya orang yang menyusui kita.
  5. Orangtua dari orang yang menyusui kita.
  6. Orangtua dari suami yang menyusui kita.
  7. Oranglain yang sepersusuan dengan kita.

C. Mahrom dari sisi pernikahan:

  1. Mertua laki-laki maupun yang perempuan.
  2. Anak tiri kita/anak sambung dari pasangan kita.
  3. Menantu kita.
  4. Orangtua tiri pasangan kita.

Jadi, kedelapan belas orang yang disebutkan diatas adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya meski sudah terputusnya tali pernikahan pada mahrom sisi pernikahan.

Artinya bahwa kedelapan belas orang yang disebutkan diatas bisa menjadi sebab batalnya wudhu ketika seseorang bersentuhan kulit tanpa penghalang dalam kaitannya dengan bab sebab-sebab batalnya wudhu.

Lalu bagaimana jika kita dalam keadaan sudah berwudhu kemudian bersalaman dengan anak dari paman dan bibi kita yakni sepupu kita?

Maka jika kita dalam keadaan berwudhu kemudian bersentuhan kulit tanpa penghalang dengan sepupu kita adalah batal wudhunya karena sepupu tidak termasuk mahrom.

Begitupun dengan saudara ipar kita, namun saudara ipar ini bisa dinikahi jika sudah terputusnya tali pernikahan, selain dari alasan tersebut maka masih mahrom kita, penjelasan lengkapnya ada dalam fikih munakahat.

Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa syarat batalnya wudhu salah-satunya adalah yakin, maka itupun berlaku pada seorang laki-laki yang bersentuhan kulit tanpa penghalang dengan perempuan yang semahrom dengannya, tetapi ragu apa mahromnya apa bukan? Maka yang seperti ini tidak membatalkan wudhunya.

Seperti seorang laki-laki ketika berjalan dengan adik iparnya yang perempuan untuk mengantar ke pasar misalnya, kemudian ditengah jalan dalam kerumunan orang tangannya ada yang menyentuh, kemudian dia ragu apakah yang menyentuhnya tadi itu adik iparnya apa bukan? Maka tidak batal wudhunya dalam madzhab Syafi’i.

Seperti halnya orang yang ragu karena kentut, apakah tadi kentut apa tidak? Maka buang keragu-raguan itu dan ambil yang yakin yang artinya tidak batal wudhunya orang tersebut menurut kaul yang mu’tamad.


Penutup

Demikian yang dapat kami sampaikan tentang sebab-sebab batalnya wudhu dalam madzhab Syafi'i. Mohon maaf jika ada kekurangan dan kesalahan baik dalam penyampaian maupun tulisan, semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam bishowab.


Sumber: Kitab Fathul Mu'in.

Open Comments

Posting Komentar untuk "4 Hal Penyebab Batalnya Wudhu Dalam Madzhab Syafi'i dan Perbedaan Pendapat Dengan Madzhab Lain"