Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Definisi Najis dan Benda-benda yang Dianggap Najis

Definisi Najis dan Benda-benda yang Dianggap Najis

Daftar Isi Artikel: Tampilkan

 

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Masih melanjutkan bahasan yang tertunda posting sebelumnya tentang syarat-syarat sholat.

Pada posting sebelumnya telah disebutkan bahwa syarat sholat yang pertama yaitu suci dari hadats dan junub yang mencakup masalah wudhu, tayamum dan mandi beserta syarat, sunah dan kefardhuannya yang sudah selasai dibahas.

Lalu syarat sholat yang kedua yaitu sucinya badan atau pakaian dan tempat dari najis yang juga sudah dibahas pada posting sebelumnya yang kami berijudul Syarat-syarat Sholat dan Wudhu, namun untuk pembahasan syarat-syarat sholat yang kedua yakni sucinya badan, pakaian dan tempat sholat dari najis, mualif menambahkan beberapa penjelasan tentang najis.


Hukum Mensegerakan Membersihkan Tubuh atau Pakaian yang Terkena Najis

Dikatakan oleh Syekh Zainudin Al Malibari di dalam kitab Fathul Mu'in bahwa:

Tidak wajib menjauhi najis pada selain sholat yakni di luar sholat. Adapun tempatnya tidak wajib yaitu pada selain berlumuran najis pada badan ataupun pakaian.

Jadi, seumpama seorang ibu ketika menyusui anaknya kemudian anak tersebut kencing dalam pangkuannya maka tidak diwajibkan bagi ibu tersebut buru-buru membersihkan tubuhnya dari najis dan mengganti pakaiannya karena dia dalam keadaan di luar sholat.

Atau seorang jagal ketika menyembelih sapi atau kambing kemudian pakaiannya berlumuran darah atau kotoran binatang yang disembelihnya, maka tidak wajib mensegerakan membersihkan badannya dari najis dan mengganti pakaiannya.

Kemudian disebutkan pula bahwa berlumuran dengan najis itu haram hukumnya bila tanpa hajat. Seperti contoh yang disebutkan diatas adalah contoh orang yang berlumuran najis karena ada hajat dan tidak diharamkan.

Berbeda dengan orang yang seumpamanya akan melaksanakan solat kemudian tahu-tahu ada tai cicak atau dikencingi cicak pada badan atau pakaiannya, maka wajib mensegerakan membersihkan najis itu dan mengganti pakaiannya.

Lalu najis itu sebenarnya apa atau seperti apa?

Kitab fathul mu'in
Pinterest


Definisi Najis

Najis menurut bahasa adalah benda yang menjijikan, jadi setiap perkara yang terlihat menjijikan menurut bahasa adalah najis sedangkan hukum tidak berdasarkan bahasa karena tak semua hal yang menjijikan menurut hukum syara' itu najis.

Adapun pengertian najis menurut hukum syara' yakni hukum yang disampaikan oleh Rosulullah melalu wahyu adalah sesuatu yang kotor dan menjijikan yang menghalangi akan syahnya sholat yang sekira-kira tidak ada kelonggaran agama.

Namun tak semua yang dipandang kotor dan menjijikan itu najis dalam pandangan hukum agama, maka kata Mualif adapun najis yaitu seperti tinja (kotoran) dan air kencing sekalipun ada tinja dan kencingnya itu dari burung, ikan, belalang dan hewan yang tidak ada darahnya.

Jadi, seumpama kita sholat kemudian ada ingus atau mani yang mengering atau masih basah bekas bersetubuh misalnya yang menempel di pakaian tidak dikatakan najis karena menurut pandangan hukum syari'at ingus dan mani tidak najis.

Yang termasuk najis itu adalah kotoran baik kotoran manusia ataupun kotoran hewan dan air kencing, baik air kencingnya manusia maupun hewan, baik hewan yang tidak bisa dimakan maupun hewan yang bisa dimakan, menurut kaul yang shohih.

Adapun definisi najis jika ditinjau secara rinci adalah setiap benda yang haram bersentuhan dengannya, memakannya secara mutlak sedikit maupun banyak disamping mudah dipisah-pisahkan, diharamkan bersentuhan dengannya bukan karena mulianya, bukan karena jijinya, juga bukan karena membahayakan badan maupun akal.

Diharamkannya memakan sesuatu yang dianggap najis oleh syari'at jika dalam keadaan normal bukan dalam keadaan darurat seperti dibolehkannya memakan daging babi di tengah hutan karena tidak ada makanan yang lain yang bisa untuk di makan.

Di dalam hukum agama membiarkan lepasnya ruh dari jasad adalah haram hukumnya seperti contohnya orang yang bunuh diri, maka pantas ketika Rosulullah mengatakan Amar bin Yasir tidak murtad ketika dipaksa oleh orang kafir Quraish untuk murtad dengan menyebut-nyebut nama berhala yang biasa disembah oleh orang kafir Quraisy.

Rosulullah dengan tegas menepis anggapan para sahabat tentang murtadnya sahabat Amar bin Yasir. Karena letak Iman bukan pada ucapan tapi i'tikad yang tempatnya di hati dan hanya Allah yang berhaq menilai keimanan seseorang dan kata-kata yang mensyirikan Allah yang diucapkan oleh Amar bin Yasir semata-mata hanya untuk mempertahankan nyawanya karena sadisnya siksaan yang dilakukan oleh kafir Quraisy terhadap keluarga Amar bin Yasir dan Rosulullah menjamin surga terhadap kedua orangtua Amar bin Yasir yang tewas sebagai syuhada.

Kembali ke pembahasan tentang najis. Jadi benda najis itu tidak boleh dimakan jika ia bisa dipisah-pisah seperti halnya petai yang kita kesampingkan dulu hukum makruhnya karena hukum makan petai itu tetap makruh dan sangat disarankan dijauhi menurut Ulama, tapi jika memang dari pohonnya udah ada ulatnya lalu ketika dimakan tertelan beserta petainya maka tidak dikatakan najis.

Berbeda ketika seseorang memisahkan ulat dari buahnya kemudian ia memakan ulat tersebut dan bukan dalam keadaan darurat maka haram memakan ulat tersebut karena najis, atau sengaja memakan semut yang mengapung di air kopi maka haram memakannya kecuali semut tersebut dipisahkan dari air kopi, maka tidak mengapa meminum air kopi tersebut selama air kopi tersebut tidak berubah rasanya.

Adapun pandangan kotor dan jijik bukanlah termasuk hukum tapi bagian dari selera atau karakter orang karena kotor dan jijik itu relatif bukan hal yang mutlak, seperti orang yang biasa makan di restoran mewah akan memandang jijik orang-orang yang makan di warteg atau warung-warung pinggir jalan lainnya.

Kemudian sesuatu yang dianggap haram memakannya oleh hukum syara' bukan karena di muliakannya benda tersebut, seperti halnya manusia yang dimandikan ketika meninggal bukan karena manusia itu najis karena memang Allah memuliakan keturunan Adam 'alaihis Salam bukan karena dipandang najis sehingga wajib dimandikan bahkan menghormati makamnya dengan adab-adab yang telah diatur oleh syari'at dan pada tubuh manusia haram untuk dimakan.

Selanjutnya yang diharamkannya memakan sesuatu yang najis bukan karena benda tersebut kotor atau jijik, seperti halnya mani atau seperma meski kotor dan dianggap menjijikan tapi tidak najis menurut pandangan syari'at, akan tetapi haram dimakan.

Selanjutnya sesuatu yang diharamkan untuk dimakan bukan karena benda itu najis atau tidak, seperti beling yang dianggap suci tapi haram untuk dimakan karena membahayakan tubuh.

Atau ganja dan obat-obatan terlarang yang umum kita sebut Narkoba, haram dikonsumsi bukan karena dia itu najis atau tidak, tapi karena membahayakan tubuh dan akal.

Di dalam hukum Islam diharamkan melukai atau mencelakai diri sendiri seperti contohnya mengkonsumsi Narkoba yang sifatnya merusak badan dan akal.

Tubuh ini merupakan pemberian Allah yang harus dijaga dan menjaga diri sendiri dari hal yang mudhorot merupakan bagian dari memelihara makhluq karena manusia adalah makhluq Allah, dan memelihara makhluq merupakan bagian dari bentuk ibadah selain mengagungkan Allah menurut pandangan tashowuf.


Benda-benda yang Dianggap Najis

Adapun benda-benda yang tergolong najis itu ada banyak yang disebutkan dalam kitab Fathul Mu'in diantaranya yaitu:

Tinja atau berakan manusia atau binatang baik binatang yang bisa dimakan maupun yang tidak boleh dimakan menurut Ulama madzhab Syafi'i.

Air kencing. Hal yang menjadi bagian dari sebab masuk nerakanya seorang muslim adalah perkara kencing yang tidak rapih yang luput dari dibersihkannya najis tersebut sehingga tidak syahnya sholat, hemat kami kencing itu lebih baik jongkok dari pada berdiri.

Termasuk air kencingnya binatang adalah najis menurut kaul Ulama Syafi'iyah yang mu'tamad yang berarti ada sebagian kaul Ulama yang tidak menganggap najis meski dianggap dho'if.

Berkata Imam Abu Said dan Imam Abdul Wahid Ar Ru'yani, kemudian juga ada Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Ibnu Hibban dan masih banyak lagi Imam-imam kita dalam madzhab Syafi'i yang berpendapat bahwa kotoran hewan yang dimakan dagingnya seperti ikan teri ikan peda jika ada kotoran di dalam perutnya halal dimakan, meski pendapat yang lebih mu'tamad itu hukumnya haram pada ikan yang jelas bisa dipisahkan antara yang najis dengan yang suci seperti kotoran pada ikan bandeng.

Seperti juga dalam madzhabnya Imam Malik dan madzhabnya Imam Ahmad sesungguhnya tinja dan kencing itu suci keduanya dari hewan yang dimakan dagingnya.

Adapun dalil dibolehkannya kotoran binatang yang bisa dimakan adalah dengan mengambil qiyas dari kasus seorang kabilah Uroinah yang badannya budugan kemudian mendatangi Nabi untuk meminta solusi agar penyakitnya itu sembuh, kemudian Nabi menyuruh mereka minum kencing unta kemudian penyakit mereka pun sembuh.

Oleh jumhur Ulama hadits ini shohih juga disebutkan dalam kitab shohih Bukhori dan Muslim, namun menurut Ulama, hadits ini menceritakan tentang keadaan yang darurat karena jika ada obat lain tentu Nabi tidak akan menyuruh mereka minum air kencing unta.

Lalu bagaimana dengan air kencing Nabi sholallahu 'alaihi wasallam?


Air Kencing Rosulullah Suci

Menurut Ulama kita Syekh Nawawi Al Bantani dalam kitab Kasyifatus Saja mengatakan bahwa air kencing para Nabi tidaklah najis termasuk Rosulullah sholallahu 'alaihi wasallam, berdasarkan riwayat Ummu Aiman yang tidak sengaja meminum air kencing Nabi yang beliau taruh dalam botol.

Inilah perbedaan Rosulullah dengan manusia lainnya. Jika ada yang berpendapat bahwa Nabi sholallahu 'alaihi wasallam itu sama dengan manusia pada umumnya sedangkan yang menganggap berlebihan itu adalah tidak dibenarkan menurut mereka, maka sama artinya mereka itulah yang menolak kebenaran yang disampaikan oleh Ulama.

Persoalan aqidah tidak akan tergoyahkan gara-gara mengagumi dan mencintai Rosulullah karena mencintai Rosulullah adalah perintah Allah dan anggapan mengkultuskannya Nabi sholallahu 'alaihi wasallam seperti halnya Nabi Isa 'alaihi salam yang dianggap tuhan adalah fitnah karena masalah keimanan bukan urusan manusia yang menilai karena iman itu adanya di dalam hati hanya Allah yang tahu.

Malah melalui Rosulullah lah manusia bisa sampai kepada Allah, mengenal Allah, iman kepada Allah dan bertaqwa kepada Allah. Jadi, tujuan dari mencintai Rosulullah yaitu tetap menyembah Allah bukan menyembah Nabi.

Seseorang tidak mungkin kenal dengan Islam, keluasan ilmu di dalam Islam, adilnya hukum Islam tanpa melalui apa yang disampaikan oleh Rosulullah melalui penjelasan Ulama, maka merupakan adab bagi manusia yang beradab memberi penghormatan setinggi-tingginya kepada baginda Rosul dengan memperbanyak sholawat yang hakikatnya untuk kebaikan umat Rosulullah bukan untuk Rosulullah, bukan dengan merendahkan Beliau.

Jika air kencing Rosulullah suci, kenapa di dalam riwayat menyebutkan Rosulullah beristinja?

Rosulullah Allah utus untuk mengajarkan syari'at kepada umatnya, maka tiap-tiap dari perbuatan Beliau akan keluar product hukum. Jadi jika ada riwayat mengatakan bahwa Rosulullah beristinja (cebok) sehabis buang air, tujuannya adalah untuk mengajarkan kepada umatnya bahwa istinja sehabis buang air itu wajib hukumnya.

Seperti memakai minyak wangi sebelum sholat juga Beliau contohkan padahal tubuh Beliau sudah wangi meski tanpa pakai minyak wangi.


Benda-benda Mutanajis yang Bisa Dibersihkan

Bicara tentang najis maka ada dua perkara yang akan kita temukan yaitu benda yang najis dan ada benda mutanajis yakni benda yang terkena najis.

Hukum Mengkonsumsi Kopi Luwak

Dikatakan oleh Mu'alif; Andai berak atau muntah oleh binatang memuntahkan biji-bijian, maka jikalau ada biji-bijian itu keras dengan sekira-kira andai ditanam biji-bijian itu maka tumbuh oleh dia yaitu hukumnya mutanajis.

Jadi, bila ada hewan yang memakan buah-buahan yang di dalam buah tersebut ada bijinya kemudian keluar dari dubur hewan tersebut bersama tinja (kotoran), maka ada dua yang dikeluarkan melalui dubur hewan tersebut yakni najis dan barang mutanajis.

Seperti halnya musang (luwak) yang doyan makan biji kopi kemudian bijinya tersebut dikeluarkan bersama tinja ketika berak, maka yang najis itu kotorannya yang tidak bisa disucikan, sedangkan biji kopi yang keluar bersama tinja tadi adalah benda mutanajis yang bisa disucikan dengan mencuci benda tersebut.

Setelah biji kopi itu dibersihkan maka tidak lagi najis dan boleh dikonsumsi karena seperti yang disebutkan di atas, bahwa biji-bijian seperti biji kopi itu termasuk biji yang keras, maka hukumnya tidak najis. Beda halnya jika biji-bijian itu tidak keras yang mudah rusak, maka hukumya najis.

Begitu juga biji-bijian yang keluar karena dimuntahkan adalah termasuk mutanajis yang suci jika najisnya dibersihkan.

Menurut Mu'alif, tidak adanya pembahasan Ulama tentang sesuatu selain biji-bijian yang dikatakan mutanajis karena keluar bersama tinja atau dimuntahkan oleh binatang, karena umumnya sesuatu yang keras yang dimakan oleh binatang adalah biji-bijian.

Namun kata Mualif, guru beliau yakni Syekh Ibnu Hajar Al Haitami mengatakan bahwa bagi sesuatu selain biji-bijian yang keluar bersama tinja atau karena dimuntahkan itu menjadi mutanajis jika keadaan benda tersebut tidak berubah atau tidak rusak sesudah dikeluarkan dari anus bersama tinja, jika berubah atau rusak maka benda tersebut adalah najis.


Hukum Mengkonsumsi Biji-bijian yang Terkena Air Kencing

Kemudian juga disebutkan oleh Mualif, bahwa di dalam kitab Majmu'nya Imam Nawawi dengan menukil kalamnya Syekh Nashor bin Ibrohim Al Makdisi, dijelaskan bahwa tidak menjadi najis biji kopi atau bulir padi yang terkena muncratan air kencing sapi ketika menggiling kopi atau padi tersebut.

Menurut Ulama kencingnya sapi penggilingan saat menggiling biji-bijian seperti contohnya biji kopi atau bulir padi itu termasuk najis yang dimaafkan ketika mengenai biji-bijian tersebut karena sulit menjaga agar sapi tidak kencing atau kapan sapi itu kencing.

Bahkan Imam Abu Muhamad Al Juaini sangat ingkar terhadap pembahasan perkara biji-bijian seperti contohnya kopi atau bulir beras yang terkena air kencing sapi di tempat penggilingan, karena menurut beliau tidak usah repot-repot mempersoalkan hal tersebut najis apa tidak.

Menurut beliau biji-bijian tersebut tidak mengapa dikonsumsi dan tidak usah repot-repot dicuci terlebih dahulu karena dengan mencucinya merupakan perkara yang mempersulit diri sendiri.

Berbeda dengan air kencing sapi yang bukan di tempat penggilingan, maka biji-bijian seperti kopi atau beras yang terkena air kencing tersebut adalah mutanajis yang bisa suci hanya dengan dicuci.

Demikian yang dikatakan Ulama dahulu tentang biji-bijian yang terkena najis di tempat penggilingan yang mana gandum atau gabah digiling menggunakan tenaga sapi yang diikat untuk memutar mesin penggilingan, berbeda dengan jaman sekarang yang sudah canggih menggunakan listrik bukan lagi ditarik menggunakan tenaga sapi.


Hukum Mengkonsumsi Makanan yang Terkena Kotoran Tikus

Kemudian juga disebutkan, bahwa menurut Imam Ghozali bila ada kotoran tikus jatuh pada benda cair seperti air atau minyak goreng misalnya, itu tidak menjadi najis dengan catatan, bahwa kejadian jatuhnya kotoran tikus menjatuhi air atau minyak ini dikarenakan terjadinya wabah tikus yang sulit untuk dihindari karena saking banyaknya tikus.

Berbeda jika air atau minyak yang mencair misalnya terkena kotoran tikus pada suatu kondisi yang normal, maka air atau minyak yang terkena kotoran tikus tersebut tidak boleh dipakai karena bukan kondisi darurat.

Berbeda dengan air atau minyak yang membeku kemudian kejatuhan kotoran tikus, maka bagian yang terkena tikus itu dibuang sedangkan yang diambil adalah bagian yang tidak terkena kotoran tikus karena pada benda cair jika membeku mudah dipisahkan ketika terkena najis, tidak larut seperti pada benda yang mencair.


Najis Pada Tumbuhan

Kemudian, sesuatu yang didapati di atas daun pada bagian tumbuhan yang bentuknya seperti buih, maka ia itu hukumnya najis karena buih tersebut adalah sesuatu yang keluar dari bagian anusnya ulat.

Yang terakhir adalah minyak ambar yang menurut Ulama bukan didapat dari hasil berakannya binatang laut, akan tetapi hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di laut, maka dengan demikian minyak ambar ini tidaklah najis.


Penutup

Jadi benda yang termasuk najis yang disebutkan oleh Mu'alif di dalam kitabnya diantaranya yaitu tinja dan air kencing baik yang keluar dari binatang yang bisa dimakan maupun yang tidak boleh dimakan, dan dari tinja dan air kencing ini sebuah benda yang suci bisa menjadi benda mutanajis yang bisa dihilangkan najisnya dengan dicuci, tapi ada juga yang tidak bisa dihilangkan najisnya.

Wallah a'lam bishowab



Sumber: Kitab Fathul Mu'in.
Open Comments

Posting Komentar untuk "Definisi Najis dan Benda-benda yang Dianggap Najis"