Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Hukum Sarang Laba-laba dan Kulit Dari Ular yang Berganti Kulit dan Hukum Anak Dari Hasil Hubungan Badan Dengan Hewan

Hukum Sarang Laba-laba dan Kulit Dari Ular yang Berganti Kulit dan Hukum Anak Dari Hasil Hubungan Badan Dengan Hewan

Daftar Isi Artikel: Tampilkan
بسم الله الرّحمن الرّحيم

Berkata syekh Zainudin Al Malibari di dalam kitab Fathul Mu'in:

وكذا نسج عنكبوت على المشهور كما قاله السّبكيّ والأذرعيّ. وجزم صاحب (العدّة) و (الهويّ) بنجاسته

Dan seperti ini suci sarang laba-laba atas kaul yang masyhur sebagaimana telah berkata Imam Subki dan Imam Adzro'i dan telah memutuskan oleh pengarang kitab Al 'Uddah dan Al Hawi dengan najisnya.

Seperti yang sudah kami sampaikan pada artikel yang lain bahwa benda seperti kapas yang menempel pada daun yang berasal dari anusnya ulat itu najis ketika mengenai tubuh atau pakaian kita yang digunakan untuk sholat.

Kitab fathul mu'in
Pinterest


Apakah sarang laba-laba itu suci?

Menurut pengarang kitab Al 'Uddah yakni Imam Ath Thobari rohimahullahu ta'ala berpendapat, bahwa yang namanya sarang laba-laba itu hukumnya najis karena menurut beliau sarang laba-laba berasal dari muntahan laba-laba dan seperti yang sudah kami sampaikan pada artikel yang lain bahwa yang namanya muntahan berasal dari perut besar itu najis kecuali muntahan yang tidak sempat masuk ke perut besar.

Kemudian alasan kedua yaitu karena laba-laba itu memakan bangkai lalat sedangkan bangkai lalat itu bila terbawa di dalam sholat itu najis kecuali bangkai lalat di luar sholat seperti mengenai air maka tidak najis, seperti juga telah kami sampaikan pada artikel sebelumnya.

Pendapat kedua yaitu dari pengarang kitab Al Hawi yakni Imam Al Mawardi, beliau mengatakan bahwa sarang laba-laba itu najis. Alasan najisnya sarang laba-laba ini sama dengan pendapatnya Imam Ath Thobari.

Namun menurut pengarang kitab Fathul Mu'in yakni syekh Zainudin Al Malibari mengatakan, bahwa sarang laba-laba itu suci tidak najis. Pendapat beliau ini berdasarkan fatwa gurunya yakni Imam Ibnu Hajar Al Haitami yang menyebutkan di dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj, bahwa sarang laba-laba itu suci.

Senada dengan Imam Subki yang mengatakan, bahwa sarang laba-laba itu suci yang juga diikuti oleh muridnya yaitu Imam Adzro'i bahwasanya sarang laba-laba itu suci.

Alasan sucinya sarang laba-laba oleh dua guru besar dan dua muridnya yang disebutkan di atas adalah karena tidak bisa dipastikan bahwa sarang laba-laba itu berasal dari muntah-muntahan laba-laba dan alasan selanjutnya yaitu tidak bisa dipastikan bahwa laba-laba itu hanya memakan bangkai lalat dan hal belum pasti itu tidak bisa dipastikan.

Lalu bagaimana sikap kita terhadap perbedaan tersebut dan pendapat yang mana yang sebaiknya kita ambil sebagai orang awam?


Cara Menyikapi Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Hukum Sarang Laba-laba

Di dalam menyikapi perbedaan pendapat Ulama di dalam fiqih, sikap yang harus kita ambil adalah dengan berhusnudhzon yakni berprasangka baik karena bagaimanapun juga pendapat yang mereka kemukakan itu bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah sesuai Al Qur-an dan Hadits.

Di dalam kaidah fiqih Syafi'i cara mengambil kesimpulan dari dua hukum yang kontradiktif yaitu dengan melihat kurun waktu dari kedua ulama yang mengeluarkan fatwa yang berbeda tersebut, artinya bahwa fatwa dari ulama yang hidupnya lebih dulu itu tergantikan dengan ulama belakangan, maka berarti yang dipakai fatwanya di sini adalah fatwa dari ulama yang hidupnya belakangan.

Imam Ath Thobari dan Imam Mawardi hidup di abad ke 4 di tahun Hijriyah, sedangkan Imam Adzro'i dan Imam Subki hidup di abad ke 7 di tahun Hijriyah yang berarti, bahwa fatwa Imam Adzro'i, Imam Subki dan Imam Ibnu Hajar Al Haitami lah yang dipakai yakni sarang laba-laba itu hukumnya suci.


Hukum Kulit Dari Ular yang Berganti Kulit

Disebutkannya hukum kulit dari ular yang berganti kulit di dalam kitab Fathul Mu'in karena yang namanya hukum najis atau tidaknya suatu benda itu perlu diketahui agar sholat kita syah dan diterima oleh Allah karena syarat syahnya sholat itu salah satunya adalah suci dari najis.

Lalu apakah kulit dari ular yang berganti kulit itu termasuk najis?

Maka berkata mu'alif di dalam kitab Fathul Mu'in:

وما يخرج من جلد نحو حيّة في حياتها، كالعرق على ما افتى به بعضهم، لكن قال شيخنا : فيه نظر ، بل الأقرب انّه نجس ، لأنّه جزء متجسّد منفصل من حيّ ، فهو كميتته .

Dan sesuatu yang keluar dari kulit seumpama ular sewaktu hidupnya itu suci seperti halnya keringat.

Jadi, menurut pendapat yang pertama, bahwa kulit dari ular yang berganti kulit itu adalah suci seperti halnya keringat, namun ada pendapat dari ulama yang mengatakan bahwa kulit dari ular yang berganti kulit itu hukumnya adalah najis.

Pendapat yang pertama di atas menurut mu'alif itu tidak jelas (sekedar konon katanya) karena menurut fatwa Ibnu Hajar Al Haitami, bahwa kulit dari ular yang berganti kulit itu hukumnya najis karena pada kulit ular tersebut perlu ditinjau kembali.

Sebagaimana telah kami sampaikan pada artikel kami yang lain, bahwa bagian tubuh yang terpisah dari hewan yang masih hidup itu najis, seperti halnya memakan daging sapi dengan cara menebas bagian kakinya saja tanpa disembelih terlebih dahulu itu hukumnya najis dan dagingnya haram dimakan karena daging yang terpisah dari sapi yang masih hidup tersebut dianggap bangkai menurut syari'at, begitu juga dengan kulit dari ular yang berganti kulit, maka menurut mu'alif hukumnya adalah najis.


Hukum Anak Dari Hasil Bersetubuh Dengan Anjing Atau Babi

Dan juga berkata Ibnu Hajar Al Haitami:

لو نزا كلب اوخنزير على آدمية ، فولدت آدميّا ، كان الولد نجسا

Jikalau bersetubuh oleh anjing atau babi atas perempuan, kemudian melahirkan perempuan itu akan manusia, maka anaknya tersebut itu najis.

Pada artikel sebelumnya disebutkan bahwa anjing dan babi itu najis, termasuk anaknya atau anaknya dari hasil kawin silang antara anjing dengan babi atau antara anjing atau babi dengan hewan suci lainnya seperti kambing itu hukumnya tetap najis.

Kemudian bagaimana jika seandainya ada manusia bersetubuh dengan anjing atau babi?

Jika ada anjing atau babi menyetubuhi seorang perempuan, kemudian perempuan ini hamil dan melahirkan anak berwujud manusia, maka anaknya ini dihukumi najis menurut Ibnu Hajar Al Haitami gurunya syekh Zainudin Al Malibari.

Lalu jika anak dari hasil kawin seorang perempuan dan seekor anjing atau babi ini tumbuh dewasa, apakah dia diwajibkan sholat?

Seorang anak yang lahir dari hubungan badan antara seorang manusia dengan hewan bila dia sudah dewasa (baligh) maka dilihat dulu, bila dia Islam, berakal dan baligh, maka wajib baginya mengerjakan sholat.

Lalu apakah syah sholatnya jika kita bermakmum kepada seorang Imam yang terlahir dari seorang perempuan yang disetubuhi anjing atau babi?

Sekalipun dia itu terlahir dari hasil hubungan badan antara seorang wanita dengan seekor anjing ataupun babi, maka syah bagi dia menjadi seorang imam dalam sholat dan syah sholat berjama'ahnya dan baik makmum maupun imam tak perlu melakukan i'adah.

Apa itu i'adah?

Pada posting sebelumnya sudah kami sampaikan bahwa i'adah itu mengulang sholat dikarenakan sholat yang pertama dianggap cacat sehingga diulang lagi sholatnya dari awal.

Lalu apakah boleh seorang yang terlahir dari hasil hubungan badan antara seorang perempuan dengan seekor anjing atau babi masuk ke dalam masjid?

Jawabannya adalah boleh selama tubuhnya itu tidak basah menurut pendapatnya Ibnu Hajar Al Haitami.

Menurut Ibnu Hajar Al Haitami orang yang terlahir dari hasil hubungan badan antara manusia dengan anjing atau babi itu hukumnya najis tapi najis yang dimaafkan yang mana tidak dianggap najis bila bersentuhan dengan manusia lainnya.

Berbeda pendapat dengan Imam Romli, bahwa orang yang terlahir karena hasil hubungan badan antara seorang perempuan dengan seekor anjing atau babi itu tetap suci karena yang dilahirkan itu manusia dan manusia itu suci baik hidup maupun sudah mati.

Di dalam madzhab Syafi'i ketika kedua Imam ini berbeda pendapat maka hukum yang diambil adalah dengan memilih salah satu dari kedua Imam tersebut karena baik Imam Romli maupun Imam Ibnu Hajar Al Haitami masih satu kurun dan keduanya masih satu guru.

Maksud suci di sini adalah dalam hal urusan ibadah seperti sholat, zakat, puasa Ramadhan dan berhaji jika mampu adalah wajib bagi dia selama dia itu Islam, berakal dan baligh.

Adapun masalah pernikahan, maka dia tidak boleh dinikahkan dan dalam hal hukum waris dia tidak mendapat haq waris karena melihat dari turunannya yaitu anjing atau babi.

Sepintas kaul dari ulama ini agak nyeleneh karena tidak mungkin jika ada seorang wanita melahirkan anak dari hasil hubungan badan dengan anjing atau babi, namun tak ada yang tidak mungkin bagi Allah ketika berkehendak.

Seperti halnya Maryam yang melahirkan nabi Isa 'alaihi salam tanpa seorang ayah dan tanpa proses hubungan badan dengan seorang laki-laki manapun, ini menunjukan Allah itu Maha Kuasa dan Maha Berkehendak.

Dan kaitannya dengan hukum, kaul dari Ulama ini syah-syah saja karena islam itu luas dan rahmat bagi semua pemeluknya, jadi pada sesuatu yang jarang terjadipun bisa saja di alami oleh seseorang yang tentu saja butuh payung hukum di dalam menyelesaikan permasalahannya.


Kesimpulan

Jadi, menurut kaul ulama yang mu'tamad kulit dari ular yang berganti kulit itu hukumnya najis karena bagian dari tubuh hewan yang masih hidup kemudian kulitnya terpisah dari tubuhnya, sehingga jika seseorang menyentuh atau menginjak kulit dari ular yang berganti kulit itu wajib membasuh anggota tubuhnya yang terkena najis tersebut sebelum sholat agar sholatnya syah.

Kemudian sarang laba-laba yang katanya berasal dari muntahan hewan dan hanya memakan bangkai lalat itu tidak bisa dipastikan yang berarti bahwa sarang laba-laba itu hukumnya suci, sehingga syah sholatnya seseorang jika seandainya ada sarang laba-laba yang menempel di tubuhnya.

Dengan mengetahui hukum, menjadi i'tibar bahwa ternyata sebegitu rincinya Islam dalam mengatur pemeluknya yang majemuk yang artinya setiap individu memiliki persoalan yang berbeda-beda, ternyata hukum Islam itu luas dan rahmat bagi setiap pemeluknya.

Dan Islam itu rasional yang mengajak pemeluknya untuk berprilaku manusiawi bukan berprilaku seperti binatang, Islam menganjurkan untuk menggunakan akal daripada syahwat dan tak mengabaikan masalah qolbu agar sempurnanya ibadah.

Wallahu a'lam bishowab.


Sumber: kitab Fathul Mu'in

Open Comments

Posting Komentar untuk "Hukum Sarang Laba-laba dan Kulit Dari Ular yang Berganti Kulit dan Hukum Anak Dari Hasil Hubungan Badan Dengan Hewan"