Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Hukum Mengkonsumsi Ulat dan Ikan Asin Menurut Islam

Hukum Mengkonsumsi Ulat dan Ikan Asin Menurut Islam

Daftar Isi Artikel: Tampilkan

 بسم الله الرّحمن الرّحيم

يُرِيۡدُ اللّٰهُ بِکُمُ الۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيۡدُ بِکُمُ الۡعُسۡرَ ...

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu... (Al Baqoroh 185)

Ayat di atas menjelaskan tentang keringanan yang Allah berikan kepada hambanya di dalam beribadah (ruhshoh) yang mana dalam ayat tersebut menjelaskan tentang tidak diwajibkannya puasa bagi orang yang uzur karena sakit atau dalam perjalanan, namun wajib qodho sesuai bilangan puasa yang ia tinggalkan.


Hukum Memakan Ulat yang Ada Di Dalam Buah-buahan

Kaitan antara ayat di atas dengan apa yang akan dijelaskan oleh Syekh Zainudin Al Malibari di dalam kitab Fathul Mu'in yaitu adanya keringanan dengan dibolehkannya memakan najis yang memang sulit dijaga keberadaannya pada buah-buahan yang dimakan.

Adapun najis yang dimaksud adalah ulat yang ada pada buah-buahan, sebagaimana telah disebutkan oleh mualif di dalam kitabnya, bahwa:

ويحلّ اكل دود مأكول معه ولا يجب غسل نحو الفم منه

Dan halal memakan ulat buah-buahan yang dimakan bersama buah-buahan yang dimakan tersebut dan tidak wajib membasuh seumpama mulut daripada ulat.

Artinya secara hukum ulat di dalam buah-buahan yang seandainya ikut termakan, maka hukumnya halal dan tidak perlu membersihkan mulut seperti kumur-kumur untuk menghilangkan najis dari ulat.

Adapun masalah jijik itu beda lagi permasalahannya, karena yang menjadi sorotan di sini adalah status hukumnya bukan masalah jijik atau tidaknya.

Namun berbeda jika kita dengan sengaja mengeluarkan ulat dari buah-buahan kemudian ulat tersebut kita makan, maka haram hukumnya jika kita makan karena ulat tersebut dianggap najis.

Jadi, jika seumpama ada ulat atau bekas ulat di dalam buah-buahan itu dima'afkan jika dimakan. Seperti memakan petai atau buah-buahan yang lain.

Namun, seperti yang kita ketahui bahwa hukum memakan petai itu makruh, jadi yang dimaafkan itu hukum memakan ulat yang ada di dalam petai bukan mema'afkan hukum makruhnya makan petai.


Kitab Fathul Mu'in

Hukum Mengkonsumsi Ikan Asin

Ikan asin merupakan makanan yang akrab bagi masyarakat Indonesia khususnya masyarakat menengah ke bawah yang dijadikan sebagai lauk yang biasanya ditemani sayur asam, sambal dan lalap sebagai teman nasi.

Dalam proses pembuatannya ikan asin diawetkan dengan menggunakan banyak garam kemudian dijemur dibawah terik matahari hingga kering dan ada juga dengan metode pengasapan. Ada yang dengan cara membelah tubuh ikan kemudian dibersihkan kotorannya, ada juga yang tidak dibedah isi perutnya untuk membuang kotorannya seperti halnya ikan peda.

Lalu bagaimana hukum mengkonsumsi ikan asin menurut Islam?

Adapun yang menjadi sorotan terkait ikan asin ini yaitu pada kotorannya karena pada dasarnya semua ikan itu halal dimakan selama tak menimbulkan mudhorot bagi yang mengkonsumsinya.

Seperti halnya Imam Al Qomuli menukilkan di dalam kitab Al Jawahirnya yang merupakan ashab Syafi'i yang mana beliau mengambil sumber dari karya-karya Imam Syafi'i, menyebutkan bahwa:

Tidak boleh memakan ikan yang diasinkan yang tidak dibuang oleh apa-apa yang ada dalam perutnya yakni daripada segala kotoran-kotoran. Adapun dhzohirnya apa yang dunukilkan Imam Qomuli tidak ada beda antara yang besar dan yang kecilnya ikan.

Jadi, menurut kaul yang mu'tamad dalam madzhab Syafi'i, bahwa ikan asin yang kotorannya tidak dibuang itu haram dimakan karena dianggap najis baik ikan yang kecil-kecil maupun ikan yang besar.


Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Hukum Memakan Ikan Asin

Akan tetapi telah menyebutkan oleh Imam Nawawi dan Imam Rofi'i dua guru besar madzhab Syafi'i termasuk gurunya syekh Zainudin Al Malibari yakni syekh Ibnu Hajar Al Haitami berpendapat, bahwa boleh memakan ikan yang kecil-kecil seperti ikan teri yang mana kotoran di dalam perutnya itu tidak dikeluarkan (disiangi) alasannya karena apa yang ada dalam perut ikan tersebut sulit dibersihkan.

Selain Imam Rofi'i dan Imam Nawawi juga ada ulama yang bermadzhab Syafi'i lainnya yaitu Imam As Syathiri dan Imam Ruyani yang membolehkan mengkonsumsi ikan asin yang kotorannya tidak dibuang, baik ikan yang kecil-kecil maupum ikan yang besar.

Kemudian dihalalkannya ikan asin yang kotorannya tidak dibuang juga disepakati di dalam madzhab Abu Hanifah.

Lalu bagaimana seharusnya kita yang awam menyikapi perbedaan pendapat di dalam madzhab Syafi'i ini?

Sebagai ihtiyat yakni bentuk kehati-hatian kita terhadap hukum, maka akan lebih baik bagi kita untuk tidak memakan kotoran ikan jika memang memungkinkan untuk dibuang kotorannya seperti ikan peda yang biasanya diasinkan, karena pada ikan yang lain biasanya dibelah dan dibuang kotorannya sebelum dijemur.

Namun bagi yang memang doyan mengkonsumsi ikan asin yang tidak dikeluarkan kotorannya dari tubuhnya, maka berarti mengikuti fatwa dari Imam Asy Syathiri dan Imam Ruyani yang merupakan masih bermadzhab Syafi'i atau taqlid kepada madzhab Hanafi.

Dan bagi yang memang doyan mengkonsumsi ikan teri itu tak perlu dipermasalahkan meski kotorannya tidak dibuang terlebih dahulu karena ada ulama Syafi'i yang membolehkan, karena pada ikan teri tidak memungkinkan untuk membuang kotorannya satu persatu.

Sedangkan menurut mu'alif di dalam kitab Fathul Mu'in berpendapat bahwa ikan asin yang kotorannya tidak dibuang itu najis karena najis dari kotoran ikan tersebut menyerap ke dalam daging ikan saat proses pengasinan, kecuali ikan yang ukurannya kecil seperti ikan teri.

Adapun ukuran kecil itu maksimal seukuran dua jari manusia, sedangkan untuk ikan besar lebih dari dua jari besar badannya.

Lalu bagaimana dengan hukum mengkonsumsi terasi yang berbahan baku ikan atau udang yang kotorannya tidak dibuang?


Hukum Mengkonsumsi Terasi

Sebagian besar masyarakat Indonesia mengkonsumsi terasi yang biasanya digunakan sebagai bumbu pelengkap makanan agar lebih gurih dan sedap saat makanan itu disantap atau sebagai bahan baku pembuatan sambel yang banyak digemari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Menyikapi tentang halal atau haramnya terasi itu dilihat dulu ikan yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan terasi jika dari ikan yang kecil-kecil, maka menurut Fathul Mu'in itu halal dikonsumsi meski kotorannya tidak dibuang terlebih dahulu, namun jika dari ikan yang ukurannya besar maka haram hukumnya dikonsumsi jika kotorannya itu tidak dibuang.


Penutup

Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa tidak semua ulama Syafi'iyah mengharamkan ikan yang besar yang kotorannya tidak dibuang. 

Tinggal kembali lagi kepada diri pribadi masing-masing untuk menentukan yang mana yang lebih baik karena dari makanan yang kita makan itu memberi pengaruh terhadap kualitas ruhaniyah seseorang.

Wallahu a'lam bishowab


Sumber: kitab Fathul Mu'in.

Open Comments

Posting Komentar untuk "Hukum Mengkonsumsi Ulat dan Ikan Asin Menurut Islam"