Al Qur-an Adalah Kalam Allah yang Qodim
بسم الله الرّحمن الرّحيم
Berikut ini adalah satu permasalahan yang dijawab oleh syekh Nawawi Al Bantani dalam mensyarahi kitabnya Abi Laits terkait iman kepada Allah, yaitu bilamana ada yang bertanya :
"Bagaimana engkau mengimani terhadap Allah Ta'la?
Maka jawablah, bahwa sesungguhnya Allah Ta'ala itu satu yakni tunggal dengan sifat-sifat-Nya yakni berdiri sendiri (mandiri), yang tunggal dalam dzat-Nya artinya tak ada sesuatu yang menyertai-Nya.
Seperti yang sudah kami bahas di dalam pembahasan sifat duapuluh pada posting yang telah lalu, bahwa dzat Allah itu tunggal (wahdaniyah) artinya bahwa dzat Allah itu satu tidak terdiri dari beberapa bagian, kemudian sifat Allah itu hanya satu, tidak mempunyai dua sifat yang sama dan perbuatan Allah juga satu yang artinya bahwa tidak ada satu makhluk pun yang bisa menyerupai dengan apa yang telah Allah ciptakan, seperti alam jagat raya beserta isinya termasuk kita di dalamnya.
Allah Maha Hidup
Kemudian, bahwa Allah itu hidup yakni dengan hidup yang haqiqi, hidupnya Allah bukan karena ada yang menghidupkan, akan tetapi hidupnya Allah itu tetap, tidak diawali mati kemudian dihidupkan dan tidak pula berakhir mati sehingga tiada/musnah, karena hidupnya Allah itu bukan karena ruh, Allah lah yang menjadi sebab adanya kehidupan, maka Allah adalah dzat yang Maha Hidup.
Allah Maha Mengetahui
Kemudian, bahwa Allah itu yang mengetahui dengan pengetahuan-Nya (sifat 'ilmu) yang qodim yakni terdahulu yang lebih dulu mengetahui apa yang diketahui oleh makhluk dan yang belum diketahui oleh makhluk, sehingga pengetahuan Allah itu meliputi perkara-perkara yang wajib, yang jaiz dan yang mustahil, maka Allah adalah dzat yang berhak memiliki sifat 'ilmu.
Allah Maha Kuasa
Kemudian, bahwa Allah itu yang kuasa dengan sifat qudroh-Nya yang dahulu yang tetap pada dzat-Nya bukan dengan usaha dan bukan dengan perantara dan sifat qudrohnya Allah tidak berhubungan (ta'aluk) dengan perkara yang mumkin (perkara yang bisa saja terjadi) akan sifat lemahnya Allah, karena mustahil bagi Allah memiliki sifat lemah, bagi Allah ketika menghendaki sesuatu tinggal berkata jadi!, maka jadilah (Al Qur'an surat Yasin).
Allah Maha Berkehendak
Kemudian, bahwa Allah itu yang menghendaki (segala sesuatu terjadi) dengan irodah-Nya yang terdahulu yang tetap pada dzat-Nya, yang berhubungan dengan semua perkara yang mumkin, jadi kehendak Allah itu sudah ada sebelum diciptaknnya makhluk dan semua yang terjadi tak keluar dari kuasa dan kehendak Allah, maka Allah adalah dzat yang berhak memiliki sifat muridan dan irodah.
Sifat muridan termasuk kedalam sifat Ma'nawi yakni sifat-sifat yang menetap pada sifat-sifat Ma'ani dan sifat irodah termasuk kedalam sifat Ma'ani. Dimana ada sifat ma'ani yang tetap pada dzatnya Allah Ta'ala, maka lazim ada sifat ma'nawiyahnya, seperti sifat berkehendaknya Allah (irodah) yang lazim karena Allah yang menghendaki (muridan).
Allah Maha Mendengar
Kemudian, bahwa Allah itu yang mendengar yakni yang menemukan terhadap apa yang didengar dengan sifat Sama'-Nya yang terdahulu dengan dzat-Nya, jadi Allah itu mendengar apa yang disuarakan oleh mulut (yang dzhohir) dan disuarakan oleh hati (yang batin) bahkan selain dari keduanya (mulut dan hati) dan perlu difahami bahwa mendengarnya Allah bukan dengan bantuan alat pendengaran seperti telinga, karena dzat Allah berbeda dengan makhluk bahkan tidak sama dengan apa yang kita fikirkan (sangkaan akal).
Allah Maha Melihat
Kemudian, bahwa Allah itu yang melihat yakni yang menemukan apa yang dilihat dalam tingkah adanya hal yang dilihat dengan sifat bashor-Nya yang terdahulu yang tetap pada dzat-Nya, jadi Allah itu melihat apa yang dzhohir dan yang batin, apa yang nampak dan apa yang tersembunyi, tak ada sesuatupun yang luput dari penglihatan dan pengawasan Allah dengan sifat bashor-Nya yang sudah ada dari dulu yang tak bermula dan tak ada akhirnya karena selamanya Allah melihat, ini yang dimaksud bahwa sifat Allah itu tetap pada dzat-Nya.
Allah Maha Berfirman
Kemudian, bahwa Allah itu yang berkata-kata (berfirman) dengan firman Allah dengan kalam-Nya yang terdahulu yang tetap pada dzat-Nya, dengan tanpa aksara, tanpa suara, maka tidak ada sesuatu yang mendahului sifat kalam ini dengan ketidak beradaanya, Kalam Allah itu sudah ada dari dulu sebelum diciptakannya makhluk dan sifat kalam berhubungan dengan perkara yang wajib, mustahil dan jaiz.
Adapun dalil terkait hubungannya sifat kalam dengan perkara yang wajib adalah firman Allah yang mengatakan :
"Sesungguhnya kami (Allah) tidak ada tuhan yang haq disembah kecuali kami (Allah), maka beribadahlah (menyembah) kalian kepada kami."
Kemudian dalil terkait hubungannya sifat kalam dengan perkara yang mustahil adalah firman Allah yang mengatakan :
"Sesungguhnya Allah itu dzat yang meliputi tiga perkara."
Kemudian dalil terkait hubungan sifat kalam terhadap perkara yang jaiz adalah firman Allah yang mengatakan :
"Dan bahwa Allah itu yang menciptakan kalian semua dan yang menciptakan terhadap perkara yang kalian kerjakan."
Kalam Madlul
Adapun kaul yang shohih, bahwa sesungguhnya yang menunjukan pada lafadz yang mana lafadz nya itu lafadz yang kita baca dalam Al Qur-an adalah muta'alaknya (hubungan) kalam bangsa dzat yang qodim (yang sudah ada dari dahulu dan tetap), sebagaimana kaul yang diucapkan oleh syekh Ibnu Qosim juga sudah disepakati oleh ulama Muta-akhirin.
Apakah Al Qur-an Itu Qodim?
Jika ada yang bertanya kepada kamu mengenai Al Qur-an, apakah Al Qur-an itu qodim (dahulu) atau kah hadits (baru)?
Maka harus kamu tafsirkan pertanyaan orang tersebut dengan balik bertanya, apa maksud dari pertanyaan qodim atau hadits tadi wahai fulan?
Jika orang yang bertanya tadi mengatakan : "Yang saya maksud yaitu (sifat) yang menetap pada dzatnya Allah Ta'ala, yang menunjukkan bahwa yang menetap pada dzat-Nya itu adalah tetap sifatnya."
Maka jawab olehmu, bahwa Al Qur'an itu qodim (dahulu) dengan qodimnya Dzat Allah, karena sesungguhnya Al Qur'an itu tetap menjadi bagian dari jumlahnya sifat-sifat Allah yang wajib ada pada haqnya Allah.
Namun jikalau orang yang bertanya tadi berkata seperti ini : "Yang saya maksud yaitu perkara yang tetap dari segi/sisi dengan bukti adanya tulisan-tulisan yang tertera di dalam Al Qur'an."
Maka harus kamu jawab pertanyaan orang tersebut dengan mengatakan, bahwa tulisan pada Al Qur-an itu adalah baru dengan ditulis menggunakan lafadz-lafadz Al Qur'an.
Dari contoh dialog yang dihadirkan oleh Mu'alif, maka sesungguhnya perkara yang menunjukan pada dzatnya Allah Ta'ala atau sifat-sifat-Nya dari bukti akan sifat-sifat-Nya atau yang menghikayatkan tentang Allah Ta'ala, adalah qodim.
Artinya bahwa kalam Allah dalam Al Qu-an itu dahulu (qodim), sudah ada sebelum Allah menciptakan Qolam dan Lauhul Mahfudz kemudian menuliskannya, sedangkan yang baru adalah lafadz-lafadz yang tertulis dalam Al Qur-an, yang terkandung di dalamnya kalam Allah yang qodim.
Kemudian perkara yang menunjukan pada perkara yang baru atau sifat-sifatnya yang baru seperti dzatnya makhluk contohnya besar, kasar, tinggi, kurus, pendek dan sifat-sifatnya makhluk seperti bodoh, pintar, rajin, malas dan lain-lain.
Begitupun dengan apa yang dihikayatkan pada perkara yang baru, kemudian dinamai dengan mengambil ibaroh yang disebutkan oleh Allah di dalam firman-Nya, maka sesungguhnya ibaroh tersebut menunjukan terhadap kalamnya Allah Ta'ala.
Dengan adanya ibaroh, maka kita dapat memahami kalam-kalamnya Allah, karena hal yang mustahil bagi kita untuk bisa menerima dan memahami kalam dari Allah secara langsung dengan melihat banyaknya dosa dan kualitas ibadah kita yang menjadi sebab terhijabnya tubuh kita dari kalamnya Allah.
Menganalogikan Kalam Allah
Kemudian, jika diibaratkan bahwa kalam Allah itu menggunakan bahasa Arab, maka kalam Allah adalah Al Qur-an, jika diibaratkan bahwa kalam Allah itu menggunakan bahasa Ibrani yang dipakai oleh orang-orang Yahudi, maka kalam Allah adalah Taurot, jika diibaratkan bahwa kalam Allah itu menggunakan bahsa Suryani, maka kalam Allah adalah Injil dan Jabur.
Dengan berbeda-bedanya ibarat seperti adanya kitab-kitab dengan bahasa yang berbeda-beda, bukan berarti kalamnya Allah itu berbeda-beda, kalam Allah bukanlah aksara atau suara layaknya makhluk.
Kalam Allah bisa diterima dan difahami hanya bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya, seperti para Rosul yang mendapat tugas untuk menyampaikan syari'at kepada umatnya, maka disesuaikan dengan bahasa yang biasa mereka gunakan agar bisa dimengerti oleh mereka apa yang Allah sampaikan kepada Rosul-Nya.
Penutup
Demikian yang dapat kami sampaikan dari apa yang disebutkan oleh syekh Nawawi Al Bantani di dalam kitabnya. Mohon maaf bila ada kekurangan dan kesalahan dalam penyampaian maupun tulisan, semoga bermanfaat
Wallahu a’lam bishowab.
Posting Komentar untuk "Al Qur-an Adalah Kalam Allah yang Qodim"