Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Hal-hal yang Mewajibkan Mandi dan Penjelasan Lengkap Tentang Haid dan Nifas

Hal-hal yang Mewajibkan Mandi dan Penjelasan Lengkap Tentang Haid dan Nifas

Daftar Isi Artikel: Tampilkan

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Mandi termasuk tata cara bersuci dalam syari’at Islam selain wudhu, adapun pengertian mandi menurut bahasa adalah mengalirkan air atas sesuatu, sedangkan menurut syara’ yakni menurut istilah dalam Islam adalah mengalirkan air ke seluruh badan yang dzhohir dengan niat.


Pinterest

Definisi Mandi

Mandi yang dalam bahasa Arab disebut ghoslu, oleh Ulama ahli fiqih dibedakan dengan harokat dhomah pada huruf ghoin menjadi ghusla karena goslu pengertiannya umum yaitu membasuh sedangkan ghusla lebih spesifik yaitu mandi.

Di dalam bab sholat suci dari hadats dan junub merupakan syarat yang harus dipenuhi bagi tiap-tiap muslim yang mukalaf ketika hendak sholat, dan mandi adalah salah satu cara bersuci agar hilangnya hadats.

Dalam hal ini yang dimaksud dengan hadats adalah hadats baik karena junub maupun karena haid dan nifas, bukan hadats kecil.

Pada pembahasan sebelumnya syekh Zainudin Al Malibari sebagai pengarang kitab Fathul Mu’in mengkategorikan junub ke dalam hadats pertengahan dengan melihat bedanya larangan antara orang yang junub dengan orang yang haid dan nifas.

Suci dari hadats baik yang kecil maupun besar atau pertengahan merupakan pembahasan dasar di dalam fikih tentang sholat, karena jika sholat kita tak sesuai dengan syari’at, maka sia-sialah sholat kita apalagi bagi yang tidak mau membenahi ibadahnya dengan tidak mau belajar fiqih.


Tujuan Daripada Mandi atau Bersuci

Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa ada dua pengertian tentang mandi yaitu pengertian menurut lugoh (bahasa) dan pengertian menurut istilah (syar’iyah) yang keduanya memiliki maksud yang sama yaitu bersuci.

Pengertian suci secara umum bisa apa saja termasuk sucinya hati dari penyakit-penyakit yang menjerumuskan seseorang ke dalam dosa seperti iri, dengki, hasud dan sebagainya yang oleh Ulama ahli tashowuf dikategorikan sebagai sebab batalnya wudhu.

Sedangkan menurut syari’at suci itu adalah ketika seseorang tidak berhadats, junub, haid, nifas dan najis dan pengertian bersuci menurut syariat adalah apa-apa yang menjadi syarat syahnya sholat seperti wudhu, tayamum dan mandi yang diawali niat, meskipun tayamum hanya pengganti wudhu ketika darurat dan tayamum tak dapat menghilangkan hadats.

Adapun dalil diperintahkannya bersuci sebelum sholat yaitu firman Allah yang disebutkan dalam Al Qur-an, salah-satunya yaitu surat Al Maidah ayat enam dan hadits Rosulullah sholallahu ‘alaihi wasallam yang disebutkan di berbagai kitab shohih.

Jadi, tujuan daripada mandi atau bersuci yaitu :

  1. Melaksanakan Perintah Allah.
  2. Mengikuti ajaran Rosulullah.
  3. Menghilangkan hadats.
  4. Membersihkan seluruh anggota tubuh dari kotoran dan najis.
  5. Memenuhi syarat syahnya sholat.

Diwajibkannya seseorang untuk mandi karena adanya hadats yang disebabkan junub ini bukan wajib untuk disegerakan pada saat itu juga, tapi dilakukan ketika diwajibkannya mandi ketika akan mengerjakan sesuatu. Termasuk orang yang berzina tidak diwajibkan mensegerakan mandi junub meski termasuk perbuatan maksiat dan dosa juga dihukumi haram menurut syariat.

Seperti orang yang habis berhubungan suami istri pada malam hari tidak lantas wajib mandi pada saat itu juga, tapi bisa dilakukan ketika akan melaksanakan sholat seperti hendak sholat tahajud atau sholat subuh dan disunahkan berwudhu sebelum tidur ketika selesai bersetubuh dengan pasangan, akan tetapi bagi mereka ahli Allah yakni ahli tashowuf tidak dibolehkan dalam keadaan junub ketika tidur.

Lain halnya dengan najis, maka wajib bagi seseorang yang terkena najis untuk mensegerakan membasuh najis karena hasil dari bermaksiat yang dilakukan olehnya.


Hal-hal Yang Mewajibkannya Mandi

Sebelum melanjutkan materi pembahasan tentang mandi ini, terlebih dahulu kami mohon maaf jika pada posting kami ini dianggap vulgar karena menyebutkan bagian-bagian kemaluan pada pria ataupun wanita, namun sedikitpun tak ada maksud untuk mengarahkan pembaca pada hal-hal yang berbau porno.

Apa yang kami sampaikan adalah sesuai dengan apa yang ditulis oleh Mu’alif yakni syekh Zainudin Al Malibari murid dari Ibnu Hajar Al Haitami yang dengan gamblang menyebut hasafah (bagian kepala alat kelamin laki-laki) dan farji (alat kelamin perempuan), insya Allah apa yang kami sampaikan adalah sesuatu yang maslahat bukan mudhorot karena hukum harus disampaikan dengan jelas agar bisa difahami.

Ada beberapa hal yang menjadi penyebab bagi seseorang diwajibkannya mandi dan dalam hal ini yang dibahas adalah mandi karena adanya hadats seperti junub, haid dan nifas. Adapun hal-hal yang mewajibkan mandi itu ada empat.


1. Keluarnya mani dari lubang kemaluan.

Salah-satu dari empat sebab yang mewajibkan mandi bagi seseorang yaitu keluarnya mani dari lubang kemaluan seseorang baik dengan sengaja maupun tidak sengaja, baik dengan bersenggama maupun karena mimpi dan kondisi seperti ini disebut junub.

Ketika seseorang melakukan hal yang diharamkan oleh agama ketika bersetubuh seperti misalnya memasukan penis ke lubang anus isterinya kemudian masuklah air mani ke dalam anus, kemudian air mani tersebut keluar ketika isterinya ini buang air besar padahal sudah mandi wajib, maka tidak diwajibkan mandi lagi.

Perlu diketahui bahwa ada empat yang dikeluarkan oleh kemaluan bagian depan yaitu air kencing, madzi, wadi dan air mani yang bisa dibedakan dengan mengetahui ciri-cirinya.

Air kencing yang sudah umum diketahui tidak termasuk hal yang menjadi sebab diwajibkannya mandi begitu pula dengan air madzi namun perlu diketahui juga ciri-cirinya karena di dalam fiqih, seseorang akan dihadapkan pada sebuah pilihan apakah harus mandi atau tidak.

Air madzi adalah sesuatu yang keluar dari kemaluan berupa cairan encer ketika seseorang dalam kondisi syahwat yang rendah, selain air madzi ada juga air wadi yaitu berupa cairan berwarna putih keruh yang biasanya keluar pada kemaluan seseorang dikarenakan kelelahan sehabis bekerja, ketiga cairan ini bukan penyebab diwajibkannya mandi bagi seseorang.

Sedangkan air mani yaitu seperma berupa cairan putih kental yang bisa dibedakan cirinya dengan perasaan ni’mat ketika mengeluarkannya kemudian keluarnya air mani ini disertai dengan muncratan.

Tidak seperti air kencing apalagi madzi dan wadi yang sama sekali tidak muncrat ketika keluar, maka pada air mani keluar dengan muncratan tidak mengalir seperti kencing, kemudian memiliki bau seperti adonan tepung yang basah dan meninggalkan bekas seperti putih telur ketika kering di kain.

Dari ciri-ciri yang disebutkan diatas jika salah-satunya ada, maka wajib mandi, namun ketika tidak ada maka tidak diwajibkan mandi. Bisa jadi yang demikian itu adalah air madzhi atau wadi atau air kencing jika tercium bau ompol.

Akan tetapi jikalau ragu pada seseorang oleh sesuatu apakah sesuatu itu mani ataukah madzi, maka diperkenankan memilih salah-satu antara mandi atau tidak, jika memang tidak ada satupun ciri-ciri yang menunjukan bahwa cairan tersebut adalah mani.

Jika yakin bahwa cairan tersebut adalah mani, maka wajib mandi. Jika yakin bahwa cairan tersebut adalah madzi maka cukup dengan mencucinya kemudian wudhu, tidak diwajibkan mandi.

Jika seandainya seseorang baru menyadari melihat air mani yang sudah kering menempel pada pakaiannya, maka wajib baginya mandi dan mengulangi tiap-tiap sholat yang sudah dia kerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya dan sesuai jumlah sholat yang harus dia ulangi dan yakin bahwa tidak mungkin jika mani tersebut milik oranglain.


2. Masuknya Bagian Kepala yang Ada Pada Kemaluan Pria.

Adapun sebab yang mewajibkannya mandi yang ke dua ini masih karena junub yaitu masuknya bagian kepala pada penis ke lubang kemaluan lawan jenisnya, bisa lubang vagina atau lubang anus.

Dalam hal ini yang menjadi sorotan bukan membahas tentang haramnya hubungan seksual yang dilakukan melalui lubang anus, akan tetapi yang menjadi pokok bahasan adalah sebab diwajibkannya seseorang mandi karena melakukan hubungan seksual dengan adanya kontak pada kemaluannya.

Diwajibkannya mandi setelah melakukan hubungan seksual dengan masuknya bagian kepala pada penis pada lawan jenisnya ini juga diberlakukan bagi seseorang yang memiliki bentuk penis tanpa memiliki kepala yakni penis yang buntung.

Kemudian, diwajibkan juga bagi seseorang untuk mandi setelah berhubungan seksual yang abnormal seperti menyetubuhi mayit dan binatang, namun tidak berarti mayit yang disetubuhi tersebut harus dimandikan lagi karena bagi mayit sudah terputusnya taklif yakni terbebas dari hukum, sudah bukan mukalaf.

Kemudian, jika misalnya ada perempuan yang menemukan penis yang buntung tergeletak kemudian penis tersebut dimasukan ke dalam vaginanya, maka wajib mandi karena yang demikian ini sama halnya dengan onani atau masturbasi.

Jadi, bersetubuh yang menjadi sebab diwajibkannya mandi ini pengertiannya adalah masuknya kemaluan yang ada pada laki-laki ke lubang kemaluanya wanita atau sebaliknya dimasukinya lubang kemaluan pada wanita oleh kemaluannya laki-laki atau selainnya seperti binatang atau sesuatu yang mirip penis atau orang yang menyetubuhi mayit.

Di sebutkannya penyimpangan seks ini karena di zaman Nabi pernah terjadi pada seorang penjarah makam yang menyetubuhi mayit, kemudian orangnya bertaubat padahal Nabi dengan tegas melaknat orang tersebut, namun Allah Maha Pengampun dan Maha Menerima Taubat.


3. Keluarnya Darah Haid.

Adapun yang ketiga dari yang menyebabkan mandi adalah haid. Haid adalah darah yang keluar dari ujung rahim perempuan pada waktu-waktu tertentu, dan diwajibkannya mandi ini setelah terhentinya darah haid.

Pada posting sebelumnya juga telah disampaikan hal-hal yang diharamkan bagi wanita haid salah satunya adalah bersenggama dengan suaminya meski sekedar bersenang-senang pada area antara pusar dan lutut, maka jangan pernah lakukan.

Ketika seseorang bersetubuh maka akan keluar sperma yang dimuntahkan penis kedalam vagina yang mana sperma bukan benda najis sedangkan darah haid adalah najis yang jika bercampur maka jangan menyangkali buah hati kita jika seandainya terlahir dengan keadaan yang tidak normal.

Seperma atau air mani adalah bakal janin yang tumbuh di dalam rahim seorang perempuan kemudian Allah jaga kesuciannya janin tersebut dengan tidak dimasuki oleh barang najis melalui mulut ketika berbentuk bayi karena asupan nutrisi pada jabang bayi melalui tali pusarnya sedangkan mulut adalah alat yang digunakan untuk berdzikir menyebut asma Allah.

Adanya larangan dari Allah karena adanya hal yang mudhorot jika dikerjakan, dan adanya perintah karena adanya hal yang lebih maslahat daripada mengabaikan dan meninggalkannya, namun apapun itu baik perintah maupun larangan dari Allah hakikatnya adalah bagian dari sifat Rohman dan Rohimnya Allah kepada hamba-Nya, artinya semua itu untuk kebaikan manusia karena sedikitpun Allah tidak mengambil manfaat dari makhluq-Nya.


Penjelasan Tentang Haid

Keluarnya darah haid pada perempuan menandakan bahwa ia sudah baligh dimana rahim sudah bisa dibuahi, adapun usia minimal bagi seorang perempuan haid itu ketika berusia sembilan tahun dan minimal keluarnya darah haid dalam sehari semalam sedangkan batas maksimalnya lima belas hari.

Jika lebih dari lima belas hari maka yang keluar itu bukan darah haid tapi darah istihadoh, maka wajib mandi dan sholat dengan tatacara seperti yang sudah dijelaskan pada posting terdahulu di dalam pembahasan syarat-syarat wudhu point ke 5.

Jika ada anak perempuan berusia sembilan tahun kurang dari enam belas hari dalam hitungan tahun hijriyah sudah mengeluarkan darah pada kemaluannya, maka darah tersebut adalah darah haid.

Jadi, usia sempurna sembilan tahun bagi perempuan yang pertamakali haid itu bukan hitungan pasti tapi kurang lebih yang artinya jika kurang dari enam belas hari sebelum usianya genap sembilan tahun maka termasuk haid. 

Berbeda jika usianya kurang dari delapan tahun atau delapan tahun sebelas bulan lima belas hari, jika ia mengeluarkan darah pada kemaluannya, maka darah itu bukan darah haid.

Adapun dalil ditentukannya usia wanita yang haid ini berdasarkan istiqro (riset) yang dilakukan oleh Imam Syafi’i karena tidak ada dalil tertulis baik dalam Al Qur-an maupun hadits yang menjelaskan batas usia bagi perempuan yang haid.

Di dalam kitab Asbah wan-Nadhzo’ir Imam Suyuti menyebutkan suatu kaidah, bahwa adat itu menjadi ketetapan hukum dalam Islam jika tidak ada nash dalam Al Qur-an atau hadits. 

Jadi, Ulama Mujtahidlah yang telah berfikir keras melalui metode yang mereka tempuh untuk memecahkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ibadah, sedangkan kita tinggal mengikuti tanpa pusing dan repot-repot berijtihad dengan menggali Al Qur-an dan hadits, karena persoalannya sudah terpecahkan dan ditulis di berbagai kitab karangan Ulama.

Sebagaimana hadits Nabi yang menyebutkan bahwa barangsiapa yang keluar dari jalan para Ulama, maka orang tersebut adalah penghuni neraka karena sebagaimana kita ketahui bahwa Ulama adalah pewaris Nabi, jadi ketika seseorang menyangkali apa yang disampaikan oleh Ulama dan sudah disepakati, maka sama artinya orang tersebut menyangkali hadits Nabi.

Berbicara tentang haid yang secara adat dan kebiasaan dirasakan oleh wanita, maka ada juga wanita yang tak pernah merasakan haid seperti contohnya puterinya baginda Rosul yakni Sayidatu Fatimah Az Zahro, penerus nasab Rosulullah sholallahu ‘alaihi wasallam yang hingga sekarang masih terjaga hingga nanti lahirnya Al Mahdi.

Seumur hidupnya sayidatu fatimah ini tak pernah meninggalkan ibadah karena tak pernah haid dan menjadi teladan bagi kaum hawa karena kesholihannya tak pernah berbicara dengan laki-laki yang bukan mahrom, kemudian menikah dengan pemuda terbaik yakni Sayidina Ali karomallahu wajhah.

Sayidina Ali adalah orang yang selalu menjaga kehormatannya dari pandangan oranglain bahkan oleh pandangannya sendiri karena beliau orang yang paling menjaga hal yang dimakruhkan oleh agama salah-satunya tak pernah melihat kemaluannya sendiri bahkan ketika kencing sekalipun.

Pada suatu kesempatan, sayidina Ali ingin bertanya kepada Rosulullah tentang junub, kemudian beliau menyuruh sahabatnya bertanya kepada Rosulullah sholallahu ‘alaihi wasallam. Dibalik pribadinya yang pemalu beliau adalah pemuda pemberani dan cerdas dan melalui beliaulah sanad ilmu dari Rosulullah diturunkan untuk disampaikan kepada umat setelah Rosulullah wafat. Salah-satunya yang paling masyhur adalah wasiat Rosulullah kepada Sayidina Ali yang ditulis di dalam kitab Wasiyatul Musthofa.

Kembali pada bahasan tentang haid, seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa haid itu tanda bagi wanita yang sudah baligh dan siap dibuahi yakni bisa saja hamil jika bersetubuh, tapi haid bukanlah alasan bahwa seorang perempuan itu bisa hamil.

Seperti yang telah kami sampaikan di atas dengan mengambil contoh dari sekelumit kisah sayidatu Fatimah yang tidak pernah haid tapi memiliki dua anak kembar yaitu sayidina Hasan dan Husen, maka harus difahami betul bahwa yang namanya anak itu mutlak pemberian Allah. Jadi jangan sampai salah kepada siapa seseorang meminta dan memohon.

Kemudian jika ada seorang wanita haid umpamanya seminggu kemudian darah haidnya terhenti yakni kemaluannya bersih dari haid tapi dalam tempo satu atau dua hari darah haidnya kembali keluar, maka wanita tersebut masih dalam keadaan haid artinya belum boleh sholat sebelum darah haidnya itu benar-benar bersih kemudian mandi.


Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Larangan Bagi Wanita Haid

Pada posting sebelumnya telah kami sampaikan hal-hal yang diharamkan bagi wanita yang sedang haid itu sama dengan larangan orang yang junub hanya saja ada penambahan larangan pada wanita yang haid yaitu tidak boleh disentuh oleh pasangannya juga telah kami sampaikan pada posting yang sama.

Di sini diperjelas bahwa menyentuh itu adalah bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan, jadi haram hukumnya bagi pasangan bersentuhan kulit pada area antara pusar dan lutut pasangannya yang sedang haid meski cuma bersenang-senang tanpa bersetubuh.

Ada pendapat bahwa tidak haram bagi pasangan suami isteri melakukan hubungan intim pada area antara pusar dan lutut selama bagian vagina tak disentuh yakni bersetubuh.

Adanya pendapat di atas dibenarkan oleh Imam Nawawi di dalam kitab tahqiqnya karena ada hadits riwayat Imam Muslim yang menyebutkan, bahwa lakukan olehmu akan segala sesuatu kecuali bersetubuh.

Oleh Ulama, hadits ini bersifat umum karena ada hadits lain yang lebih spesifik menyebutkan larangan menyentuh area antara pusar dan lutut pada perempuan (isteri) yang sedang haid.

Kemudian juga disebutkan, bahwa apabila telah terputus (terhenti) darahnya perempuan yang haid, maka boleh bagi perempuan tersebut berpuasa sebelum mandi tapi tidak boleh bersetubuh.

Berbeda pendapat bagi Imam Jalaludin As Suyuti rohimahullahu ta’ala, beliau berpendapat bahwa boleh menyetubuhi isteri ketika darah haidnya kering walau belum mandi wajib, namun menurut pendapat yang mu’tamad adalah haram.

Pada materi pembahasan fiqih munakahat yang penjelasannya nanti setelah fiqih ibadah, juga menyinggung tentang diharamkannya menalak isteri yang sedang haid yang tidak disebutkan oleh mu’alif pada bab sholat dan thoharoh ini.


Pinterest

4. Keluarnya Darah Nifas

Selanjutnya yang ke empat dari sebab diwajibkannya mandi yaitu nifas, artinya setelah terhentinya darah nifas pada kemaluan perempuan atau bersihnya rahim setelah melahirkan maka wajib mandi bagi perempuan tersebut.


Penjelasan Tentang Nifas

Pengertian nifas secara bahasa adalah melahirkan, sedangkan menurut istilah syar’i adalah darah haid yang berkumpul pada rahim yang keluar setelah keluarnya bayi yakni kosongnya rahim dari bayi.

Darah nifas keluar setelah kosongnya rahim seorang ibu dari bayi yang dikandungnya, adapun darah yang keluar bersamaan dengan bayi bukanlah darah nifas.

Sekurang-kurangnya nifas yang keluar bagi wanita setelah melahirkan yaitu seperludahan, maksudnya adalah pada seorang perempuan bisa saja mengeluarkan darah nifas dengan sedikit sepertihalnya orang meludah.

Dalil dari keluarnya darah haid sekurang-kurangnya seperludah ini adalah dengan melihat riwayat dari proses melahirkannya sayidatu Fatimah Az Zahro putri Rosulullah ketika melahirkan sayidina Hasan dan Husen.

Sayidatu Fatimah ketika melahirkan kedua anak kembarnya tidak mengeluarkan banyak darah Nifas, sehingga ketika darah nifas itu terhenti yakni bersih sayidatu Fatimah tidak meninggalkan sholat Magrib, karena saat melahirkan sayidina Hasan dan Husen bertepatan dengan masuknya waktu sholat Magrib.

Kemudian, umumnya nifas itu empat puluh hari, adapun dalil wanita nifas empatpuluh hari adalah hadits di dalam kitab shohihnya Imam Abu Daud yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah yang mengatakan bahwa umumnya para wanita di zaman Nabi itu tidak sholat karena nifas selama empat puluh hari.

Kemudian, paling lambatnya wanita nifas itu tidak lebih dari enampuluh hari dalam madzhab Syafi’i, hasil dari istiqro yakni hasil riset Imam Syafi’i yang menyimpulkan bahwa paling lambatnya wanita nifas itu tak lebih dari enampuluh hari.

Dalam madzhab Syafi’ enampuluh hari adalah batas bagi wanita yang nifas, sedangkan lebih dari enampuluh hari adalah istihadhoh bukan darah nifas, maka wajib bagi wanita yang istihadoh mengerjakan sholat setelah bersuci dengan tatacara yang sudah diatur di dalam fiqih.

Dimulainya nifas pada wanita yaitu setelah kosongnya rahim yakni keluarnya bayi atau bayi yang terakhir keluar jika bayinya kembar dan paling lambatnya darah nifas itu keluar yaitu limabelas hari pasca melahirkan. 

Jika keluarnya darah pada kemaluan wanita setelah enambelas hari melahirkan padahal sebelumnya sudah bersih, maka darah tersebut bukanlah darah nifas tapi darah haid.

Bersihnya darah wanita pasca melahirkan kemudian baru keluar setelah enambelas hari sebenarnya persis dengan apa yang dialami oleh sayidatu Fatimah Az Zahro ketika melahirkan, bedanya sayidah Fatimah itu tidak haid setelah enambelas hari. Setelah keluarnya darah nifas seperludahan beliau bersih selamanya.

Kemudian hal-hal yang diharamkan bagi wanita dengan sebab nifas ini sama dengan apa-apa yang diharamkan bagi wanita yang sedang haid haya saja ada penambahan larangan bagi wanita yang sedang nifas seperti yang sudah kami sampaikan sebelumnya.

Jadi, baik junub maupun haid dan nifas itu ada persamaan larangan juga ada perbedaan larangannya. Larangan pada wanita haid lebih banyak dan lebih berat daripada orang junub, begitu juga larangan nifas itu lebih berat daripada haid.

Jika kita renungkan dari apa yang dialami, dirasakan dan diharamkannya bagi wanita dengan sebab haid dan nifas ini, maka sudah sepantasnyalah mereka para wanita khususnya kaum ibu mendapat penghormatan dari kaum laki-laki, sebagaimana pandangan agama terhadap kaum ibu yang memposisikan derajat mereka di atas Ayah.

Kemudian, diwajibkannya mandi bagi wanita itu bukan cuma karena setelah bersihnya darah haid dan nifas tapi juga diwajibkan mandi bagi wanita setelah melahirkan meskipun bayi yang dilahirkannya itu tidak basah.

Kemudian diwajibkan pula mandi bagi wanita dengan sebab melahirkan segumpal darah dan segumpal daging, seperti halnya wanita yang keguguran atau wanita yang melahirkan paksa janin dengan jalan aborsi.

Kemudian, disebutkan pula oleh syekh Zainudin di dalam kitabnya, bahwa wajib memandikan mayit oleh orang yang masih hidup bukan dengan sebab mati syahid. Dimandikannya mayit bukan karena bangakai yang najis tapi memuliakan orang Islam yang meninggal itu diperintahkan oleh agama.

Dalam Islam orang yang sudah terkubur di dalam tanah pun dihargai keberadaannya seperti tidak boleh buang air kecil atau besar di area pemakaman atau diperintahkannya mengucap salam ketika melewati makam, tidak boleh duduk di atas makam atau menginjak makam dan lain-lain.

Berbicara tentang orang yang mati syahid, maka ada tiga golongan orang yang mati syahid :

  1. Syahid dunia yaitu orang yang meninggal karena berperang melawan musuh Allah tapi dengan niat dunia, seperti mengharapkan harta rampasan, kekuasaan dan apapun selain Allah.
  2. Syahid akhirat yaitu orang yang meninggal karena dalam Al Qur-an dan Hadits mengkategorikan dia sebagai syuhada, salah-satu contohnya adalah orang yang meninggal karena melahirkan, sedang menuntut ilmu, terkena wabah menular dan lain-lain.
  3. Syahid dunia akhirat yaitu orang yang meinggal karena berperang melawan musuh Allah dan dengan niat karena Allah.

Dari ketiga golongan yang disebutkan di atas yang wajib dimandikan ketika meninggal adalah syahid akhirat, maka berdosa bagi orang yang tidak memandikan mayit karena meninggal dengan syahid akhirat dan yang bukan karena syahid.


Penutup

Demikian yang dapat kami sampaikan tentang wajibnya mandi bagi orang yang junub, haid dan nifas. Untuk pembahasan tentang tata cara mandi wajib insya Allah akan kami sampaikan pada posting selanjutnya.

Wallahu a’lam bishowab.


Open Comments

Posting Komentar untuk "Hal-hal yang Mewajibkan Mandi dan Penjelasan Lengkap Tentang Haid dan Nifas "