Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Hukum Al Qur-an yang Terkena Najis dan Hukum Air Bekas Mencuci

Hukum Al Qur-an yang Terkena Najis dan Hukum Air Bekas Mencuci

Daftar Isi Artikel: Tampilkan

 بسم الله الرّحمن الرّحيم

Berkata syekh Zainudin Al Malibari rohimahullahu ta'ala di dalam kitab fathul mu'in:

وافتى بعضهم في مصحف تنجّس بغير معفوّ عنه بوجب غسله، وإن ادّى إلى تلفه، وإن كان ليتيم

Dan telah berfatwa sebagian ulama tentang mushaf Al Qur-an yang terkena najis dengan selain najis yang dima'afkan fatwa daripadanya yaitu dengan wajib mencucinya, meskipun membawa oleh mencuci itu pada rusaknya Al Qur-an, meskipun ada Al Qur-an itu kepunyaan anak yatim.

قال شيخنا: ويتعيّن فرضه فيما إذا مسّت النّجاسة شيا من القرآن، بخلاف ما إذا كانت في نحو الجلد او الحواشي

Berkata guru kami (Ibnu Hajar Al Haitami): Dan tertentu oleh mentakdirkan harus dicuci pada sesuatu yang apabila menyentuh oleh najis akan sesuatu dari tulisan Al Qur-an, lain halnya sesuatu yang apabila ada oleh najis itu pada seumpama sampulnya atau tepian-tepian Al Qur-an.

فرع: غسالة المتنجّس، ولو معفوّا عنها، كدم قليل، إن انفصلت وقد زالت العين وصفاتها ولم تغيّر ولم يزد وزنها بعد اعتبار ما يأخذه الثّوب من الماء والماء من الوسخ وقد طهر المحلّ طاهرة

Adapun air sisa cucian benda yang terkena najis, meskipun benda yang terkena najis itu najis yang dima'afkan, seperti darah yang sedikit, jikalau terpisah air sisa bekas cucian itu dan sungguh telah hilang oleh dzatiah najisnya dan sifat-sifat najisnya dan tidak berubah air bekas cucian itu dan tidak bertambah oleh timbangannya air bekas cucian itu sesudah memperhitungkan apa yang menyerap akannya oleh pakaian dari air dan oleh air daripada kotoran dan sungguh telah suci tempatnya maka hukumnya suci.

قال شيخنا: ويظهر الاكتفاء فيهما بالظّنّ

Berkata guru kami (Ibnu Hajar Al Haitami): Dan nampak jelas oleh merasa cukup pada keduanya (air yang diserap pakaian dan air yang menyerap dari kotoran) dengan prasangka saja.

Kitab fathul mu'in
Pinterest


Sekelumit Tentang Pengertian Apa Itu Mushaf

Sebelum kita membahas najis pada Al Qur-an ada baiknya kita mengetahui apa itu mushaf. Dalam istilah umum kata mushaf sudah tentu maksudnya adalah Al Qur-an yang di dalamnya berisi ayat-ayat dan surat-surat dari kalamnya Allah yang ditulis dan dihimpun berupa mushaf.

Untuk pertamakalinya kalam-kalam Allah yang diwahyukan kepada Rosulullah sholallahu 'alaihi wasallam ditulis dan dihimpun berupa lembaran mushaf dalam bentuk kitab pada jamannya sahabat Utsman bin 'Afan rodhiyallahu 'anhu.

Baik lafadz, kalimat maupun ayat yang tertulis di dalam Al Qur-an adalah termasuk mushaf dalam pandangan umat Islam, terlebih dalam madzhab Syafi'i sangat hati-hati di dalam menjaga kemuliaan kalam-kalam Allah ini.

Seperti misalnya ketika melihat robekan Al Qur-an yang tergeletak di tanah, meski tidak utuh dalam bentuk kitab namun tetap disebut mushaf yang artinya tidak boleh dalam keadaan berhadats ketika memegangnya.


Ketika Mushaf Al Qur-an Terkena Najis

Bahasan tentang najis kali ini adalah membicarakan tentang Al Qur-an yang terkena najis itu harus dibagaimanakan?

Maka seperti yang telah disebutkan oleh mu'alif di atas, bahwa mushaf Al Qur-an yang terkena najis bukan dari najis yang dima'afkan itu wajib disucikan artinya benda najis yang tidak dimaafkan ketika mengenai Al Qur-an itu harus dihilangkan najisnya.

Diwajibkannya menghilangkan najis dari mushaf Al Qur-an ini mutlak, meski dapat mengakibatkan lunturnya tulisan karena ditulis tangan misalnya dan meskipun Al Qur-annya itu kepunyaannya seorang anak yatim.

Disebutkannya Al Qur-an milik anak yatim ini karena dalam hukum Islam merusak barang miliknya anak yatim itu tidak boleh, namun dalam perkara memuliakan Al Qur-an kemudian terkena najis maka tidak apa-apa ketika Al Qur-an ini rusak gara-gara menghilangkan najis.


Pendapat Ibnu Hajar Al Haitami Tentang Hukum Wajib Mencuci Mushaf yang Terkena Najis

Menurut gurunya mu'alif yakni Ibnu Hajar Al Haitami, beliau berpendapat bahwa diwajibkannya mencuci mushaf Al Qur-an ini jika ada najis mengenai huruf Al Qur-an, lain halnya jika yang terkena najis itu sampulnya atau bagian tepi pada lembaran mushaf maka tidak wajib untuk dicuci.


Cabang Masalah Terkait Hukum Air Bekas Mencuci Benda yang Terkena Najis

Seperti yang telah kami tulis di atas berdasarkan apa yang disebutkan oleh mu'alif di dalam kitabnya yaitu tertulis kata "ghusalah". Dalam istilah fiqih ghusalah adalah air bekas mencuci benda yang terkena najis.

Lalu apa hukumnya bagi air bekas mencuci benda najis tersebut?

Hukum air bekas mencuci benda najis itu hukumnya sama seperti air musta'mal. Jadi air bekas mencuci benda najis itu suci tapi tidak mensucikan artinya air tersebut tidak bisa dipakai untuk bersuci seperti wudhu, mandi dan bersuci lainnya yang mensyaratkan harus menggunakan air, akan tetapi tidak mutlak.

Dikatakan tidak mutlak karena ada syarat-syaratnya untuk air bekas mencuci benda yang terkena najis ini hukumnya menjadi suci meski tidak mensucikan, artinya boleh-boleh saja dimasak untuk diminum tapi tidak boleh digunakan lagi untuk bersuci meski air tersebut masih suci.

Ada lima syarat yang disebutkan oleh mualif agar air yang sedikit (kurang dari dua kulah) bekas mencuci benda najis ini menjadi suci meski tidak mensucikan, diantaranya yaitu:

  1. Air tersebut harus yang mendatangi benda yang terkena najis (air warid) ketika proses mencuci (lihat pada pembahasan mensucikan benda yang terkena najis menggunakan air yang sedikit).
  2. Airnya sudah dipisahkan dari benda yang terkena najis setelah di cuci.
  3. Air bekas mencuci benda yang terkena najis tersebut tidak berubah, baik warna, rasa dan baunya.
  4. Volume airnya tidak bertambah setelah diserap oleh benda yang dicuci karena pada air yang sedikit jika volumenya bertambah menjadi air yang bercampur, dan menjadi bukti bahwa air tersebut najis.
  5. Tempatnya suci dengan sebab benda najis dan sifat-sifatnya (warna, rasa dan bau) hilang.

Jadi air bekas mencuci benda najis itu tidak selalu menjadi najis jika memenuhi syarat seperti yang disebutkan di atas meski tidak boleh digunakan untuk bersuci, terlebih pada air yang lebih dua kulah maka tidak najis dan boleh digunakan untuk bersuci ketika terkena benda najis selama tidak berubah warna, rasa dan bau.

Sebagaimana telah disebutkan di atas oleh mu'alif berdasarkan gurunya yakni Ibnu Hajar Al Haitami, bahwa air bekas mencuci benda najis ini tidak perlu dicek dengan seksama, tapi cukup dengan sangkaan saja berdasarkan apa yang nampak tak perlu dicium atau dicicipi.


Penutup

Jadi ketika kita melihat Al Qur-an terkena najis maka hukumnya wajib bagi kita membersihkannya demi menjaga kemuliaan Al Qur-an yang menurut pandangan ahlu sunnah waljama'ah adalah kalam Allah yang qodim.

Penting bagi kita untuk memuliakan Al Qur-an dengan memperlakukannya tidak ditaruh sembarangan agar tetap terjaga kesucian dan martabatnya yang mulia karena Al Qur-an akan melaknat orang yang tidak mengindahkan apa yang disampaikan pada ayat-ayatnya atau lalay dalam menjaga kemuliaan dan kesucian kitabnya.

Kemudian dalam ibadah juga harus memperhatikan pakaian yang kita pakai jangan sampai masih najis yang disebabkan cara mencucinya yang tidak sesuai dengan tuntunan syari'at sehingga hajat kita yang kita ajukan kepada Allah di dalam berdo'a terhalang karena sholat kita yang tidak syah karena najis.

Inilah inti dari pembahasan seputar najis yaitu memperhatikan apa yang disyaratkan di dalam sholat, salah satunya yaitu suci dari najis.

Demikian yang dapat kami sampaikan, mohon ma'af jika ada kekurangan dan kesalahan dalam penyampaian maupun tulisan, semoga bermanfa'at. 

Wallahu a'lam bishowab.

Open Comments

Posting Komentar untuk "Hukum Al Qur-an yang Terkena Najis dan Hukum Air Bekas Mencuci"